ANAKLUH : BAHASA BAKU DAN EYD DALAM SKENARIO KITA

ANAKLUH

Sutradara : Eduart Pesta Sirait

Produksi : Bomb Creative Production, 2011

Okay. I’m never against bad movies, dalam pengertian film-film busuk dan sampah yang dibuat memang dalam tujuan itu. Tapi untuk sesuatu yang punya segudang potensi jadi bagus tapi hasilnya jauh dari harapan, that’s what I’m totally against. Apalagi membawa nama besar sineasnya. Ada banyak contoh dalam film kita termasuk yang masih fresh, ‘Satu Jam Saja’, tahun lalu. Let’s talk about the director. Eduart Pesta Sirait, sutradara kelahiran Tapanuli yang sudah hampir menginjak usia 70 tahun ini tentu bukan sineas asal-asalan dalam timeline historikal film kita. Saya coba sebutkan film-filmnya yang punya kriteria lebih dari sekedar bagus, bahkan tercatat sebagai film nasional berkualitas legendaris. Mulai dari Chicha, Duo Kribo, Sang Guru yang begitu menguji kualitas akting S.Bagio di luar eksistensinya sebagai komedian, sampai Gadis Penakluk dan Bila Saatnya Tiba yang membawa nominasi FFI untuk Eduart. Source adaptasinya pun termasuk novel yang banyak di-review bagus, Anakluh Berwajah Bumi karya Ugi Agustono, yang banyak menampilkan sisi budaya Bali yang tetap terasa sangat menarik. Namun ada satu pakem yang agaknya susah sekali lepas dari film-film kita, terutama style penyutradaraan para senior yang tampak seperti terus berkutat di masa kejayaan mereka tanpa sebuah usaha up-to-date. Try this. Seberapa sering sih Anda mendengar orang-orang sekitar kita berdialog dalam konteks ‘common conversation’ dengan kata-kata Indonesia baku seperti ‘Ketika’, ‘Bahkan’, ‘Adalah’, ‘Bagaikan’, dan lain-lain? Saya tak pernah tahu apa ini kesalahan bangunan sejarah bahasa kita yang terlalu drastis merentang gap antara kata baku dengan bahasa sehari-hari, atau justru sebuah kebodohan berlarut-larut dalam penggambaran filmis. Dalam novel, tentu tak jadi masalah. Penuangannya dalam konteks narasi, apalagi. Namun untuk dialog dalam skenario? Entah pemainnya yang susah berimprovisasi, atau justru penulis skenario dan sutradaranya yang menuntut kepatuhan itu. Belum lagi dengan deskripsi teatrikal yang kerap menunjukkan reaksi-reaksi ala film kita termasuk sinetron-sinetronnya yang tak masuk akal. Kehilangan ayam saja bisa menimbulkan reaksi seperti kehilangan orangtua dengan mimik over dan bentakan sebesar suara petir. Kalau saya, menganggap kesalahan turun-temurun itu paling parah berasal dari ketidakmampuan banyak penulis kita menciptakan skenario yang komunikatif dan wajar, lantas sutradara dan pemainnya juga seakan tak mau ribet-ribet disusahkan dengan improvisasi. So, seperti ‘Satu Jam Saja’ atau katakanlah, ‘Ketika Cinta Bertasbih’ yang juga dibesut sineas-sineas senior tanpa adanya usaha up-to-date tadi, ini juga yang membuat banyak pengadeganan Anakluh terasa sama janggalnya seperti banyak film-film jadul atau sinetron yang konsepnya bagus tapi tampil totally ridiculous. Tak mau beranjak dari kotak yang isinya itu-itu saja. Atau mungkin ada tendensi untuk menampilkan puitisasi yang ada dalam novelnya lebih ke depan? Ah, cukup dalam narasi, rasanya. Beberapa dialog tanpa bahasa baku-nya juga bisa terasa cukup puitis tanpa harus memakai kata-kata kamus EYD itu. Ini adalah film bersetting kehidupan wajar manusia biasa sekarang, sama sekali bukan ala Shakespeare atau drama/sejarah abad jebot, atau bahkan ala AADC yang karakternya memang dilatarbelakangi sedikit alasan atas puitisasi-puitisasi yang ada. Dan oh, satu hal lagi. Kebiasaan mengakhiri scene dengan fadeout sound tak rapi dan mendadak sontak memunculkan riff-riff  drumbeat lagu-lagu soundtracknya, sesekali bisa terasa bagus. Namun di tiap adegannya tanpa juga memikirikan kecocokan pilihan lagu yang memang lagi nge-trend dengan pengadeganan itu? Oh my, this is very, very annoying!

Idayu (Shara Aryo), ibu muda berdarah Bali berusia 43 tahun dari dua putri cantiknya, Mira (Masayu Clara) dan Kirei (Suci Winata), seketika menemukan kebahagiaan lagi dari sebuah makhluk bernama lelaki, yang sudah ditinggalkannya sejak 18 tahun yang silam akibat masa lalu yang pahit. Lelaki itu adalah Nando (Rizky Hanggono), yang dijumpainya secara tak sengaja di sebuah konser dan punya perasaan yang sama terhadap Idayu. Namun eksistensi Idayu sebagai seorang ibu harus bertubrukan dengan proses pendewasaan Mira dan Kirei yang sekaligus juga merindukan sosok seorang ayah hadir dalam hidup mereka. Mira akhirnya jatuh cinta pada Nando dan berusaha merebutnya dari Idayu, sementara Kirei tetap mendukung kebahagiaan sang ibu.

Call it a hunch, karena saya juga bukan pembaca novelnya, namun dari konsep cerita yang digelar Eduart, rasanya saya bisa merasakan kekuatan novel yang sebenarnya berplot sangat simpel namun manusiawi dan penuh dengan problematika single mother di tengah pencarian kebahagiaan sekaligus harus bertabrakan dengan masalah-masalah pubertas dua putri kesayangannya. Kalau digarap dengan baik, Anakluh yang punya sedikit atmosfer budaya masyarakat Bali ini tentu bisa jadi sajian yang menarik. Plot-plot simpel seperti ini justru banyak sekali dulu menciptakan film-film kita yang berkelas tanpa harus memutar-mutar dramatisasinya secara tak jelas. Klise, sudah ratusan bahkan ribuan kali menjadi plot film-film bergenre sama, namun terangkat oleh penggarapan yang baik pada zamannya. Tapi itulah, apa yang kita saksikan lantas jadi sebuah penggambaran yang terasa kelewat kuno dari style Eduart yang tak juga beranjak sejak masa-masa kejayaannya dulu. Selain skenario yang seakan tak tahu bahwa ada bahasa berbeda antara novel dan film untuk bisa jadi komunikatif terhadap pemirsanya, I’m gonna give you another example, dari sebuah sisi plot yang menggambarkan masa SMU Idayu yang terjebak dalam, oh ya, lagi-lagi, pacaran ala SMU dan hamil di luar nikah, tapi si cowok ternyata orang yang brengsek meski awalnya mau bertanggung jawab. Imagine this description, yang sudah tergelar di ratusan film jadul kita. Penggambaran hubungan pacaran yang membuat hamil itu? Di semak-semak dekat sekolah atau rumah mereka. Oh ya. Selalu ada semak-semak. Lantas, deskripsi adegan lain atas ketidakberesan sang suami? Anak menangis, dimarahi, lantas dikunci, lantas si istri yang terpaksa bekerja karena suaminya malas-malasan dan main judi itu pulang ke rumah, marah-marah, melempar suaminya, kemudian bertengkar. Si anak menangis. Lantas lagi? Oh ya, si suami brengsek ini harus digambarkan dalam postur benar-benar brengsek, lengkap dengan tampang sangar, rambut gondrong, tegap-gemuk, dan suka marah-marah. Oh yeah! Ini terus terang, adalah pengadeganan yang sangat kuno dan sinetron sekali. Belum lagi dengan penggambaran reaksi-reaksi terhadap konflik yang pada dasarnya masih wajar namun ditimpali dengan reaksi over ala film kita, dan pemeran si suami yang kelewat teatrikal serta paman Idayu yang OMG, kaku sekali seperti anak SD sedang membaca buku. Padahal, Rizky Hanggono dan Shara Aryo bermain cukup wajar di timeline usia mereka yang lebih tua dari seharusnya, bahkan dalam menyebutkan dialog-dialog penuh bahasa baku dalam skenario yang jauh dari kewajaran itu. Tapi apa boleh buat. Usaha Rizky Hanggono, salah satu aktor terbaik yang kita miliki sekarang dan Shara Aryo yang juga cukup baik tampaknya juga tak bisa berbuat banyak. Setiap kali mereka berusaha membangun chemistry yang baik dalam sebuah adegan yang seharusnya bisa menyentuh, muncul pula fadeout sound-nya, yang mendadak sontak diganti dengan riff drum lagu-lagu soundtrack, sebagiannya dari Seventeen, yang ingin terlihat sok emo tapi malah merusak semuanya. Berulang-ulang, dan terus hingga ke bagian akhir. Pesanan produser? Oh, Whatever. Untuk sebuah karya dengan potensi besar, penggarapan Anakluh sangat mengecewakan. (dan)

~ by danieldokter on January 15, 2011.

3 Responses to “ANAKLUH : BAHASA BAKU DAN EYD DALAM SKENARIO KITA”

  1. […] This post was mentioned on Twitter by indonesia movie, Daniel Irawan and others. Daniel Irawan said: Review : http://wp.me/pVV2A-9c […]

  2. Sontak dalam EYD? Adakah?

  3. […] Anakluh […]

Leave a comment