LOST IN PAPUA : GUILTY AS CHARGED (WARNING : CONTAINS SPOILER!!)

LOST IN PAPUA

Sutradara : Irham Acho Bachtiar

Produksi : Nayacom Mediatama, Merauke Enterprice (yak, bukan enterprise, memang sengaja begitu) Production, 2011

Terus terang. Selama ini mengikuti thread dari sebuah situs yang menjadi media partner dari karya ambisius, yang saking ambisiusnya melibatkan sang sutradara jebolan IKJ ini sendiri dalam berlapis-lapis promosi dan ‘pembelaan diri’ di thread tersebut, antusiasme untuk menyaksikan Lost In Papua sudah terbangun sedemikian menarik. Apalagi, introduksi di thread tadi dimuat begitu lengkap dengan sebuah pesan cerita diatas sinopsis dan trailernya, yang belum pernah ada selama ini, dimana pemirsa bukan diserahkan mencari pesannya sendiri, namun diarahkan sedemikian rupa. Demikianlah pesan itu tertera : “Papua memiliki banyak kekayaan alam dan budaya yang masih banyak menyimpan sejuta misteri yang dapat membuat orang tertarik untuk kesana”. Dan lebih lagi, Irham, sang sutradara itu, memberikan introduksi panjang lebar juga tentang pemahaman yang, saya yakin, sungguh dalam, bahkan melalui survei, mungkin, tentang Papua Selatan yang selama ini jarang diekspos karena keindahan alamnya tak semanis belahan Papua yang lain. Namun ada yang menarik disana. Suku Korowai, yang berkali-kali menjadi latar dan dideskripsikan secara visual disini, menurut mitos-mitosnya adalah suku kanibal primitif terakhir disana. Lantas, ada pula deskripsi lain tentang RKT 2000, jalur yang dianggap sebagai daerah terlarang dan tabu untuk didatangi. Wah, wah… selintas, saya berpikir, selepas peredarannya, Papua Selatan ini mungkin bakal jadi booming Bangka Belitung yang marak setelah Laskar Pelangi. Namun mendadak, keluarlah isu atas penundaan previewnya yang kemudian ditampik Irham dengan alasan yang juga jelas. Bahwa Bupati Merauke/Boven Digoel yang kabarnya juga kota kelahiran Irham, berikut Kepala Dinas Kebudayaan dan seluruh jajaran pemerintah disana sejak awal mendukung pembuatan film ini. Jadi semuanya atas ulah LSF yang memotong banyak adegan yang dinilai tak pantas, dan meminta bukti tanda tangan tertulis. Sama sekali bukan adanya pertentangan dari pemerintah setempat seperti Arwah Goyang Karawang yang memicu protes orang-orangnya sendiri. Lost In Papua pun kemudian melaju mulus meski lagi-lagi, disertai keluhan Irham yang menyatakan kurang puas terhadap hasil akhirnya atas kegagalan berbagai unsur di proses produksinya, termasuk kesalahan beberapa cast yang dinilainya tak bisa menampilkan emosi yang diinginkan. Dan untuk pertama kali pula, seorang sutradara me-review langsung filmnya dengan sejuta uneg-uneg. Let’s give a clap for that, Oh My God! Di satu sisi, lagi-lagi terus terang, sejuta rasa tak enak merayapi hati saya ketika harus menulis review film ini. Tapi bagaimanapun itu, se-subjektif apapun, a review is a review, seperti ‘pembelaan’ yang ditulis Irham sendiri. Sekalipun ia menyilahkan kaum yang disebutnya ‘tukang review’ untuk membantai filmnya, ada metafora film-film Quentin Tarantino atau film-film nyeleneh lainnya di thread tadi, bahwa penonton, tak harus mengikuti review jelek karena bakal ada 10 review bagus setiap 1 review jelek yang muncul. Let’s take a deep look at the movie, then.

Dimulai dengan scene yang sangat menjanjikan atas janji Irham ke kombinasi segala macam genre, romantis, drama, komedi, slasher sampai ke ending yang tertebak, Lost In Papua dimulai dengan hilangnya sebuah tim survei tambang emas yang melibatkan Rangga (Edo Borne) di kawasan misterius itu. Tiga tahun kemudian kita dibawa ke karakter Nadia (Fanny Fabriana), tunangan Rangga yang mendadak ditugaskan ke Papua oleh bosnya (Didi Petet). Awalnya ragu, Nadia kemudian menerimanya dengan alasan tak jelas. Entah karena sekalian ingin mencari keberadaan Rangga, atau karena langsung diberi izin oleh sang kakek (Piet Pagau) yang juga punya koneksi masa lalu disana. Namun muncul David (Fauzi Baadilla), sang anak bos yang lewat sepenggal dialog dikisahkan pernah memiliki hubungan ‘intim’ dengan Nadia, dan berniat terus merayu Nadia agar jadi miliknya. Ini peran yang mungkin bagi seorang Fauzi Baadilla dirasakan bakal membuahkan Oscar dengan penerjemahan ekspresinya yang biasa, teatrikal, komikal atau apalah namanya. Lengkap dengan mata melotot, lidah bermain dan alis yang terangkat-angkat serta hal-hal mesum lainnya, tampilan oom-oom ala film Indonesia jadul itu dibawakan Fauzi dengan sangat-sangat sumringah. Supaya kelihatan bajingan? Yeah right. Sebagian ‘tukang review’ bolehjadi menganggapnya sempurna, tapi bagi saya, seperti akting Fauzi lainnya, that’s an overacting piece of crap. So, berangkatlah Nadia ke Merauke untuk menunaikan tugas survei titik tambang itu. Ditemani oleh beberapa kontak lokal, Nadia kemudian menemukan bahwa satu dari mereka, Merry, ternyata ayahnya ikutan hilang dalam tim Rangga. Nadia pun membelokkan niatnya. Bersama krunya dan seorang guide tangguh, sepupu Merry bernama Eby, mereka menelusuri jejak tim itu. Disini plot Lost in Papua terasa semakin berantakan dengan motivasi karakter tak jelas yang sering kita lihat di film-film Indonesia. Nadia dan Merry yang sebentar terlihat mati-matian ingin menemukan Rangga serta sang ayah, di adegan lain terlihat seperti turis yang ingin berlibur ke pedalaman, dan dualisme ini berlangsung terus, lengkap juga dengan pameran wisata dan tempat bersejarah Papua yang diceritakan dengan detail bak seorang pemandu wisata. Lantas muncul David yang menyusul Nadia kesana dan membuat keonaran di tengah suku Korowai. Mereka pun dikejar, kemudian tersesat ke RKT 2000 yang terlarang itu. Menyeruak seketika subplot Eby yang menaruh hati pada Nadia sehingga terus berseteru dengan David, dan terjebaklah mereka semua ke sebuah suku kanibal primitif yang semuanya wanita. Dari sini, cerita menjadi semakin absurd dan penuh kekotoran otak sineas kita. Para wanita disekap, dan prianya diperkosa meladeni 15 wanita primitif itu dalam sehari sampai lemas. Nadia sampai harus rela berhubungan lesbian dengan sang kepala suku, bukan untuk menyelamatkan diri, namun hanya untuk merebut liontinnya dan liontin Rangga yang ternyata dipegang kepala suku. Di sela kesusahan itu, tampil pula dialog-dialog aneh dari motivasi yang semakin tak jelas. Merry menyuruh Nadia menahan emosi mengharapkan David berubah, lalu David yang sudah membuat kerusuhan sedemikian rupa meminta maaf dan langsung ditimpali Nadia dengan ‘sorry back’. Seakan masih kurang, di klimaksnya muncullah penyelamat dari Korowai, putra kepala suku yang sebelumnya asyik mengintip  Nadia mandi di sungai lengkap dengan jilatan lidah mesumnya. Oh My God! A big, big sorry for the spoiler, but what’s this, really?

Sebelum mengkritik kombinasi genre secara berantakan serta dalih menampilkan keindahan alam Papua yang ternyata dieksekusi dengan fantasi kotor itu, kelemahan terbesar Lost In Papua adalah tipikal kerusakan skenario ala film kita, yang dalam film ini ditulis oleh Ace Arca dan Augit Prima. Motivasi tiap karakter yang dituangkan dengan turnover berlogika anak SD itu sungguh menyia-nyiakan bakat akting Fanny Fabriana yang ekspresinya begitu luwes tapi tetap wajar, tak seperti Fauzi yang memang tipikal aktingnya over cengangas-cengenges itu. Aktor-aktor asli Papua-nya juga sebenarnya sudah cukup lumayan kalau tak dituntut skenario tadi seperti orang-orang kebingungan. Akting suku-suku asli berikut wanita-wanita primitif itu yang justru sangat layak dipuji mengingat sebagian dari mereka bukan aktor/aktris yang melek kamera. Di luar itu, sebagian penempatan jualan soundtracknya, diantaranya dari Anima, juga sedikit tak sinkron dengan pengadeganannya. Ok, saya sedikit bisa mengerti ambisi Irham untuk menghadirkan kengerian ala Cannibal Holocaust dan film-film cult sejenis ke dalam Lost In Papua dalam rangka menghadirkan genre baru dalam perfilman kita, tapi, tanpa bermaksud provokatif seperti yang diingatkannya di thread tadi, memanfaatkan nama Papua untuk eksekusi yang malah menakutkan wisatawan buat kesana tentu sangat tak bijak, apalagi tujuan pengenalan wisata itu disempalkan pula di bagian-bagian awal. Saya tak tahu apa yang ada di benak jajaran pemerintahan di Papua untuk tak mengambil reaksi atas penggambaran akhir ini meski menyelamatkan martabat Suku Korowai, namun niat Irham untuk berinteraksi dengan argumen pribadinya secara begitu antusias tetap harus diacungi jempol. Dan saya juga berharap seperti yang dikatakan Irham, semoga kritikan, sepedas apapun, tetap bisa menjadi cambuk untuk karya yang lebih baik. Tapi untuk Lost In Papua, apa boleh buat, ini adalah kesalahan yang sejelas-jelasnya Guilty As Charged. Sayang sekali. (dan)

~ by danieldokter on March 15, 2011.

2 Responses to “LOST IN PAPUA : GUILTY AS CHARGED (WARNING : CONTAINS SPOILER!!)”

  1. Blog Walking

  2. […] Lost In Papua […]

Leave a reply to MY 2011 MOVIE JOURNAL : A YEAR IN RATINGS « Dan At The Movies Cancel reply