PENDEKAR TONGKAT EMAS : THE RESURRECTION OF INDONESIAN CLASSIC MARTIAL ARTS GENRE

PENDEKAR TONGKAT EMAS (THE GOLDEN CANE WARRIOR)

Sutradara : Ifa Isfansyah

Produksi : Miles Film & KG Studio, 2014

PTE

            Coba ingat. Kapan terakhir film Indonesia punya genre silat klasik? Well, kecuali Anda mengikutsertakan ‘Reinkarnasi’, produksi salah satu stasiun teve di masa-masa awal kebangkitan film kita setelah mati suri yang sebenarnya lebih cenderung ke fantasi, atau sejumlah lain yang hanya topeng untuk film esek-esek tahun ’90-an, jawabannya adalah sudah lama sekali. Terakhir yang paling diingat mungkin franchise seperti ‘Saur Sepuh’, ‘Tutur Tinular’ atau ‘Misteri dari Gunung Merapi’ yang sempat punya beberapa instalmen.

            Dan benar pula kalau ada yang mengatakan genre ini sebenarnya ikut membentuk ciri film Indonesia dari zaman ke zaman sebelum mati surinya. Jadi denyut nadi, gerak nafas atau apalah sebutannya, ini adalah genre yang kerap menjual pengenalan budaya meski sering dikemas dengan pakem film Asia luar terutama Mandarin. Bahkan, sebagian diantaranya merupakan salah satu pengejawantahan genre superhero lokal dari trend komik silat sampai legenda nasional yang begitu hidup di era ’80-an. Kita punya ‘Si Buta dari Gua Hantu’ serta pendekar lain dalam universe Ganes TH, ‘Jaka Sembung’ dan Jaka-Jaka lain karya Djair, ‘Mandala’, ‘Panji Tengkorak’, ‘Si Pitung’, ‘Si Jampang’ dan banyak lagi yang lain. Di tahun ’70-an, genre ini malah sempat memunculkan trend joint venture dengan penghasil terbesar genre-nya dalam skup dunia, Shaw Brothers dan company lain dari Hong Kong, yang ikut memboyong aktor-aktor mereka ke film kita.

            Then again, mari lihat kembali. Dalam persentase mungkin mencapai 80% – 90%, meski gaungnya mendunia, semuanya lantas mendarat lebih sebagai cult movies. Asian exploitations, bahkan dalam kelas lebih rendah disebut trash movies. Paling hanya satu dua yang benar-benar punya kualitas acclaimed dalam hal-hal lebih detil melebihi presentasi adegan laga seperti instalmen pertama ‘Si Buta dari Gua Hantu’. So, itu artinya, walau genre ini begitu berjasa menyokong nafas sejarah perfilman nasional kita, pencapaian luarbiasa secara kualitas dalam genre-nya, masihlah sangat jarang.

            And no. ‘Pendekar Tongkat Emas‘ (The Golden Cane Warrior ; international title) sebenarnya juga bukan didasari sebuah kerinduan akan genre-nya dalam sejarah film kita. Mira Lesmana yang duduk di kursi produser lebih punya concern terhadap wujud asli sumber-sumbernya dalam bentuk komik. Bersama Riri Riza, ia lantas menggamit Ifa Isfansyah, sutradara dengan kredibilitas baik yang meski belum pernah teruji menggarap genre aksi, tapi sudah menghasilkan intensitas dramatik yang layak dan berkelas dalam film-film seperti ‘Garuda di Dadaku’, ‘Sang Penari’ atau ‘9 Summers 10 Autumns’. Sebagai penyeimbang ke arah laga, ada Xiong Xinxin a.k.a. Hung Yan-yan, martial artist, actor, stunt, director dan action director ternama dari Hong Kong yang selama ini kita kenal lewat franchise ‘Once Upon a Time In China’-nya Jet Li hingga banyak lagi film-film silat legendaris seperti ‘Seven Swords’. Menempati posisi action director dan koreografi laga, ditambah ensemble cast papan atas plus theme songFly My Eagle’ yang dibawakan Anggun, ini mestinya jadi sesuatu yang benar-benar spesial seperti promo-promonya yang cukup mengundang rasa penasaran hasilnya akan jadi seperti apa.

            Memasuki usianya yang kian sepuh, Cempaka (Christine Hakim), ketua perguruan silat pemegang Tongkat Emas, sebuah senjata pusaka dengan jurus Tongkat Emas Melingkar Bumi yang termasyhur di dunia persilatan, ingin mewariskan ilmu itu pada salah seorang muridnya. Pilihan Cempaka terhadap Dara (Eva Celia) ternyata memicu pengkhianatan murid tertuanya, Biru (Reza Rahadian) bersama Gerhana (Tara Basro) yang punya hubungan dekat dengan kakak seperguruannya itu. Dara pun melarikan diri bersama murid termuda Cempaka, Angin (Aria Kusumah) dibalik sebuah pesan untuk menemukan Pendekar Naga Putih (Darius Sinathrya) yang memegang kunci terakhir penguasaan jurusnya. Dalam pelarian itu, seorang pendekar misterius, Elang (Nicholas Saputra) kemudian muncul untuk membantu mereka, namun fitnah yang sudah disebarkan Biru dan Gerhana terhadap para sesepuh dunia persilatan membuat semuanya tak berjalan mudah.

            So you see. Dari skrip yang ditulis keroyokan oleh penulis senior Jujur Prananto dan Seno Gumira Ajidarma bersama Mira, Riri dan Ifa sendiri, ‘Pendekar Tongkat Emas’ memang tak melepas pakem dalam tema-tema sejenis. Dari perebutan supremasi, pusaka sakti, cinta, pengkhianatan sampai balas dendam, ini adalah elemen-elemen yang hampir selalu wajib hadir dalam cerita-cerita silat klasik. Artinya, bukan berarti usang, mereka memang punya knowledge lebih dalam genre-nya. Malah, buat menjelaskan bahwa ini masih berada dalam batasan-batasan produksi Miles yang selalu punya kedalaman lebih, buat mengimbangi character development-nya yang memang kurang kuat, ada unsur redemption yang ikut dipoles bersama penceritaan lewat narasi serba puitis dalam time lapse gambaran lintas generasinya.

            Pilihan penceritaan naratif itu juga yang ikut membuat kekuatan set penuh pengenalan wilayah ala Miles, kali ini Sumba yang menjadi pilihannya, bisa berbaur dengan sinematografi cantik Gunnar Nimpuno dalam menghadirkan landscape panoramik daerahnya lewat shot-shot luarbiasa. Keindahan alam Sumba itu, meski kadang terasa sedikit berlebih, masih tetap bisa tampil sebagai latar yang cukup kuat menggambarkan atmosfer antah-berantah persilatan yang megah tanpa membuat desain produksi lain dari kostum hingga dialog-dialog komikalnya jadi terlihat janggal.

       Dalam bagian-bagian yang mendominasi hingga tigaperempat film ini, Ifa terasa tengah mengimitasi style sineas-sineas ternama seperti Terrence Malick, atau dalam genre-nya, dari Akira Kurosawa ke Zhang Yimou. Tak ada yang salah dengan itu, hanya mungkin, punya resiko terhadap pace dan batasan-batasan emosi dalam dramatisasi yang akhirnya malah terasa tak konsisten ke perempat akhir final showdown yang secara tak tanggung-tanggung, no holds barred, melencengkan konsepnya ke warna cult chinese martial arts yang teramat sangat kental. Bukan saja dari tone sinematografi tapi juga hingga ke orkestrasi scoring Erwin Gutawa yang mendadak mengubah sentuhan-sentuhan etnis lokal menjadi sangat chinese. Mau tak mau, tigaperempat awal dan klimaksnya menjadi agak jomplang, biarpun bukan berarti tak bagus.

             Dari sisi presentasi laga pun sama halnya. Koreografi aksi yang terasa agak lemah di bagian-bagian awal, secara deretan cast-nya lebih punya kredibilitas aktor, malah sebagian besar senior-nya datang dari latar belakang teater ketimbang fighter, sayangnya tak dibarengi teknik kamera yang bisa menutupi kekurangan itu. Meski tata suara Satrio Budiono dan Yusuf Patawari cukup cermat memberi impact, Gunnar memang lebih piawai membesut keindahan landscape ketimbang pameran aksi yang kerap dipenuhi shot-shot closeup dengan editing W. Ichwan Diardono yang tak terlalu dinamis, membuat penggantian stunt-nya terlihat jelas. Untungnya, final showdown itu bisa jadi payoff buat kekurangan sebelumnya, dimana adegan klimaks yang kabarnya memakan waktu syuting lebih lama itu bisa secepat kilat menaikkan intensitas aksi hingga emosinya ke arah yang lebih pas dalam genre-nya.

         Sementara di departemen akting, meski ‘Pendekar Tongkat Emas’ jelas bukan film yang meletakkan concern lebihnya di soal akting, Eva Celia secara mengejutkan bisa meng-handle kiprahnya sebagai female lead yang cukup kuat. Tak ada yang terlalu spesial dari Reza Rahadian dan Tara Basro yang memang punya gestur membawakan peran antagonis serta deretan para senior dari Christine Hakim, Slamet Rahardjo ke aktor-aktor teater seperti Landung Simatupang, Whani Dharmawan dan pendukung lain seperti Darius Sinathrya dan Prisia Nasution, namun Nicholas Saputra tampil cukup meyakinkan dalam penampilan pertamanya di genre aksi. Dan pemeran Angin, Aria Kusumah, dengan sosok yang mengingatkan ke Aang-nya ‘Avatar: The Last Airbender’ bisa membaik secara perlahan ke scene paling krusialnya.

         Jadi begitulah. Sebagai peletak awal kembalinya genre silat klasik di sinema Indonesia, ‘Pendekar Tongkat Emas’ mungkin belum lagi sempurna, namun effort-effort yang ada di dalamnya, dari elemen-elemen plot penuh filosofi wajib dalam genre martial arts ke usaha lebih serius menggelar presentasi aksi yang belum sepenuhnya berhasil hingga trik pemasaran unik dari merchandising, jumlah layar dan promosi besar-besaran mendatangi penontonnya, sungguh layak buat diberi penghargaan lebih. Lagipula, lihat lagi sejarah semua film-film silat klasik legendaris tadi. Bahwa masih hanya segelintir saja yang punya keseimbangan lebih dalam kualitas keseluruhannya, sama sekali tak ada alasan untuk menyebut ‘Pendekar Tongkat Emas’ bukan sebuah kebangkitan yang layak dalam genre-nya. At least, ini jelas bukan sekedar eksploitasi tanpa isi. Go embark with them on this venture, karena dalam waktu tak terlalu lama lagi, kita akan punya sejumlah gebrakan lain dalam genre ini, dan mari berharap lebih lagi untuk itu. (dan)

~ by danieldokter on December 24, 2014.

2 Responses to “PENDEKAR TONGKAT EMAS : THE RESURRECTION OF INDONESIAN CLASSIC MARTIAL ARTS GENRE”

  1. I for one am tired of seeing people selling those faces over and over and over again.

  2. […] DANIEL IRAWAN (Dan at the Movies) […]

Leave a comment