CINTA TAPI BEDA : KONFLIK KEYAKINAN DAN KURANGNYA OBSERVASI

CINTA TAPI BEDA

Sutradara : Hestu Saputra & Hanung Bramantyo

Produksi : MVP, 2012

CTB9

Now I’m gonna let you figure out a family. A Moslem father. A Catholic Mom from a Catholic mother and buddhist father. Two sons, a Moslem and a Protestant. One married to a Moslem from a Moslem converted mother (from a Protestant) and Moslem father, and the other married to a Protestant from a Moslem mother and Protestant father. Tapi, tak ada konflik berarti dalam keluarga mereka yang sangat pluralis itu. Di setiap ibadah masing-masing, semuanya saling mengerti. Di setiap perayaan hari raya agama masing-masing, everyone joined together. Di setiap ziarah di tempat keagamaan berbeda, malah sebagian yang memilih di-kremasi dan ditempatkan di Vihara (oh, yes, to some Chinese Christians, ini biasa), semua keluarga hingga yang jauh dan saling berbeda kepercayaan, tetap saling mengunjungi. I assured you, that’s a true story. For some, this is harmony. But for some others, ini adalah suatu momok yang mengerikan. Satu problem paling mendasar dari ikatan matrimoni di negeri yang katanya demokratis termasuk dalam hal agama ini, yang sekarang tak lagi membiarkan pasangan beda agama bersatu dalam pernikahan.

CTB4

And so in movies, bicara tentang film kita, tema-tema seperti ini adalah tema yang sangat sensitif. Malah, sebelum filmnya dirilis, bahkan kala masih dalam pembuatan, sebagian protes-protes sudah melayang dari organisasi-organisasi keagamaan tertentu yang tak mau gambarannya sampai beresiko, menurut anggapan mereka, menyesatkan. Satu yang paling pantang adalah kalau sampai ada gambaran karakternya yang pindah agama. Sebelumnya, kita sudah punya ‘Cin(t)a’-nya Sammaria Simanjuntak, ‘3 Hati 2 Dunia 1 Cinta’-nya Benni Setiawan dan termasuk juga ‘Tanda Tanya’-nya Hanung Bramantyo, meskipun bukan berpusat ke sebuah lovestory, yang paling menyulut kontroversi. Bukan berarti tak ada film luar yang mengambil tema seperti ini, namun beberapa bandingan perbedaannya, di saat sinema luar berani memenangkan cinta ketimbang kepercayaan, film kita memilih konklusi yang lebih aman atas protes-protes itu. ‘Cinta Tapi Beda’ adalah satu lagi film yang melangkah ke tema yang sama dengan sedikit keberanian lebih. Kabarnya, kisahnya diilhami dari sebuah kisah nyata di dunia maya. Sama seperti yang lain, sejak sebelum dirilis, debat-debat bernada kontroversi juga sudah terdengar dimana-mana. Bahkan ada yang menyebutnya ‘haram’. Ah, ada-ada saja. Tapi itulah kenyataannya.

CTB1

Lewat bibinya yang seorang guru tari, Dyah (Nungki Kusumastuti), Cahyo (Reza Nangin), cowok asal Yogya yang bekerja sebagai chef di Jakarta bertemu dengan Diana (Agni Pratistha), gadis asal Padang yang meniti karirnya sebagai penari kontemporer di sebuah pertunjukan. Pertemuan ini kemudian berkembang menjadi cinta dibalik keyakinan mereka yang berbeda. Dua-duanya berasal dari keluarga dengan kepercayaan yang taat. Cahyo dari pasangan Muslim Fadholi (Suharyoso) dan Munawaroh (Sitoresmi Prabuningrat), sementara Diana dari seorang single mother (Jajang C. Noer), penganut Katolik dengan trauma ditinggal dua kakak Diana yang pindah memeluk agama Islam. Diana sendiri tinggal bersama bibinya yang beragama Islam (Ayu Dyah Pasha) dan suaminya yang beragama Katolik (Leroy Osmani). Berdua, mereka mulai berjuang melawan perbedaan ini, namun kenyataannya tak semudah itu. Cahyo diusir oleh ayahnya dan Diana dijodohkan sang ibu dengan seorang dokter (Choky Sitohang) dari jemaatnya. Namun mereka tetap percaya, apa yang dipersatukan oleh Tuhan, tak boleh dipisahkan oleh manusia.

CTB6

Di tengah template klise film-film sejenis, meski tak menampilkan perbedaan etnis terlalu jauh (pribumi dengan non-pribumi), trio penulis skrip Taty Apriliyana, Novia Faizal dan Perdana Kartawiyudha tampak mencoba menampilkan dua karakter utama yang kuat dibalik latar perbedaan kepercayaan itu dengan usaha-usaha mendobrak batasan tabu dalam pengadeganannya demi penyampaian pesan pluralisme yang kerap muncul di film-film Hanung. Sayangnya, mereka menarik problematika terlalu luas buat bangunan konfliknya hingga kontinuitasnya jadi sedikit berantakan melewati bagian-bagian awal yang sudah berjalan baik. Entah benar atau tidak, kabarnya juga ada bagian-bagian yang dihilangkan dari latar karakter ibu Diana yang diperankan oleh Jajang C. Noer, yang awalnya sebenarnya adalah seorang Muslim yang berpindah kepercayaan, yang akhirnya membuat ketidakjelasan hubungan kepercayaannya dengan sang adik yang diperankan Ayu Dyah Pasha, termasuk latar keluarga Padang yang rata-rata justru lebih kental dalam kepercayaan Islam.

CTB2

Terlalu padatnya karakter yang muncul, baik untuk menggambarkan latar keluarga hingga orang-orang di sekitar pekerjaan mereka, yang sebenarnya tak begitu diperlukan dan hanya tampil sebatas penarik seperti Agust Melasz, Nungki Kusumastuti, Hudson Prananjaya dan lain-lain juga semakin membuat storytelling sutradara Hestu Saputra, salah satu murid Hanung di Dapur Film yang selama ini sudah menjabat asisten sutradara (‘Get Married’ 1 & 2) sampai co-director (‘Pengejar Angin’) jadi semakin terbata-bata dan tak fokus buat menuju ending yang lagi-lagi dieksekusi dengan luarbiasa klise, serba digampangkan setelah melewati konflik yang dibelit-belit sedemikian rupa sampai kehilangan kewajarannya. Belum lagi dengan tampilnya dua karakter, mantan Cahyo (Ratu Felisha) dan calon jodoh Diana (Choky Sitohang). Meski masing-masing tampil dengan akting cukup terjaga, bahkan sebagiannya mencuri perhatian, namun terhadap storytelling itu, ini lebih mirip sebuah kanibalisme yang semakin membuat susunan karakternya makin penuh sesak tanpa kepentingan relevan.

CTB3

Dan yang lebih parah lagi, Taty, Novia dan Perdana seakan menyusun skrip itu dengan observasi yang benar-benar mentah. Saya tak tahu apa latar kepercayaan mereka, dan bukan sebenarnya tema-tema ini memerlukan riset berlebih, namun ketidaktahuannya tentang detil-detil penting yang ada dibalik perbedaan kebiasaan dan cara ibadah aliran-aliran Kristiani yang berbeda membuat hanya ada satu tipikalisme yang dimunculkan, dan semuanya, mostly, justru berlawanan dengan kenyataan kepercayaan Katolik yang ada disini. Walau sebagiannya tetap menyentil, bangunan karakter penganut Katolik yang dimunculkan disini lebih disamaratakan dari simbol-simbol tipikal non Muslim seperti hidangan babi atau salib ketimbang mencoba mengeksplor simbol-simbol lain yang lebih dalam, dan kelihatan lebih seperti Protestan yang cenderung ke aliran-aliran kharismatik dalam penyusunan dialog-dialognya.

CTB5

Begitupun, secara keseluruhan, ‘Cinta Tapi Beda’ masih punya sedikit sisi lebih. Di saat semua film kita sekarang mencoba menonjolkan sinematografi panoramik demi menutupi kekurangan guliran ceritanya, lewat penata kamera M. Batara Gumpar Siagian, ‘Cinta Tapi Beda’ mencoba tampil apa adanya seperti tuntutan cerita, meskipun bagi sebagian orang menuduhnya jadi lebih mirip sinetron ketimbang produk layar lebar. But trust me, itu adalah distraksi, karena sebenarnya sinematografi harus lebih menyesuaikan diri ke storytelling sebuah film ketimbang melulu mencoba tampil bak sebuah lukisan cantik. Skor dari Eross Chandra juga cukup lumayan membangun emosi ceritanya. Apalagi, konklusi yang dipilih disini mencoba untuk terlihat berbeda meski mereka tak mencoba menghindari balutannya secara klise, terlalu Bollywood ending (maklum, ini produk MVP) dan menggampangkan penyelesaian. Dengan bagian penutup yang meski mungkin berusaha makin menyentil tapi terkesan bercanda pula termasuk end title song-nya yang sungguh kelihatan tak serius.

CTB7

Dan masih ada dua pentolan utamanya, Agni Pratistha dan Reza Nangin, memang ber-chemistry dengan baik untuk meyakinkan perjuangan dibalik perbedaan keyakinan itu meski skripnya beberapa kali terjatuh menempatkan karakter mereka sebagai manusia dengan kadar labil kelewatan, plus Jajang C. Noer yang tetap tampil bagus dibalik naik turun kemanusiawian karakterisasinya yang di-push kelewat batas  hingga tak lagi terlihat wajar. Bersama Agni, Reza yang masih berstatus pendatang baru itu justru menjadi kekuatan utama ‘Cinta Tapi Beda’ untuk jadi sebuah film yang tetap layak buat disimak. Paling tidak, di luar sebagian yang tak setuju dan selalu menganggapnya mengerikan, ada pesan pluralisme yang baik yang tetap tertuang disini. Jadi ya begitulah. Lagi-lagi, film kita mesti terbentur ke kualitas keseluruhannya yang akan dipenuhi dengan kata-kata ‘sayang sekali’. Apa boleh buat. (dan)

~ by danieldokter on December 28, 2012.

5 Responses to “CINTA TAPI BEDA : KONFLIK KEYAKINAN DAN KURANGNYA OBSERVASI”

  1. Wow.. akhirnya dapat nama DoP M. Batara Gumpar Siagian dari blog Pak Daniel. Di situs aslinya masih nama Faozan Rizal.

    Saya jujur saja merasa segar dengan mainan fokus kamera si DoP. Adegan yang seharusnya klise seperti karakter utama cewek memergoki karakter cowok yang dipeluk ama cewek lain, jadi terasa beda karena diambil dengan satu take dan hanya mainan fokus.

    Soal musik latar, garapannya Erros Chandra lebih terkendali daripada garapan Tya Subiakto di Habibie dan Ainun.

    Saya pribadi lebih memilih Cinta tapi Beda dibanding Habibie dan Ainun. Saya gak bisa dapat chemistry-nya Reza Rahadian dan BCL tetapi malah dapat chemistry-nya Agni Pratistha dan Reza Nangin.

    Saya pribadi gak merasa ini bollywood ending. Ini open ending. Tidak ada yang menyatakan bahwa mereka akan menikah. Problemnya tetap terbuka bahkan ditegaskan lagi di adegan selanjutnya di kantor KUA. Bahkan karakter si bapak juga tidak ditampilkan apakah merestui keinginan si anak atau tidak karena langsung ‘cut off’ ke adegan di Padang.

    Bahwa kemudian di bagian akhir karakter cewek dan cowok pelukan di tangga sih memang bollywood ending. Tapi aku lebih memilih seperti itu daripada konfliknya terlalu ‘njelimet’ kemudian tiba-tiba salah satu karakternya tertabrak mobil dan mati (Koper, I Love You Om) :p

  2. […] Cinta Tapi Beda […]

  3. :). got your points. tapi justru gak ada yg salah dgn bollywood happy ending. malah disitu salah satu kekuatan yg saya bilang. di saat yg lain takut2, film ini, memenangkan cinta. tapi kalau konfliknya ga dibelit2 secara dibuat2 :). Ini permasalahannya skripnya emang lemah sekali nembangun karakter2nya, dan ga punya pengetahuan lebih sama sekali akan apa yg mereka sorot dalam kepercayaan2 itu. Gimana kita bisa jatuh hati sama karakter yang goyah mempertahankan cinta tapi (maunya skrip) dari luar keliatan begitu teguh atau juga orangtua2 tipikal yang sangar2 dan kemudian bisa luluh seketika tanpa proses panjang dan dialog yang mendukung pula? :). Saya mah nganggepnya satu aja. Di saat mas Hanung melalui akun twit-nya sibuk menjawab pertanyaan penonton akan karakter2 yg dibangun tanpa kejelasan itu, termasuk part latar belakang Jajang dan adiknya berbeda agama (pdhl si adik justru nikah dgn agama beda), cuma ada satu kesimpulan. Filmmaker lewat film harusnya sudah bercerita jelas ttg karakternya. Kalau penonton pada gak nangkep, berarti skrip dan visualisasinya, ya gagal :). Ga perlulah dijawabin satu-persatu begitu.

  4. Mendapati hal baru lagi dari blog ini. Waktu nonton, aku beranggapan mamanya Diana itu adalah kakak / uni nya om Thalib (lupa ih nama om itu). Tapi anehnya logat mereka beda. Itu menjadi hal yang membingungkan ketika nonton. Kalau ternyata mamanya Diana dulu Islam, lalu jadi Katholik. Mungkin akan jadi perdebatan tiada henti. Menghina minang saja sudah seheboh ini, gimana mau dikata kalau orang yang tinggal di Padang, dari Islam merubah agamanya jadi Katholik.
    Kalau opini saya sih, gak sesuai sama tagline yang dibuat, “Apa yang dipersatukan oleh Tuhan, tidak bisa dipisah oleh manusia.” masih ingat banget alasan saya tertarik nonton awalnya adalah karena perbedaan agama, ditambah dengan tagline yang menarik. Bagaimana kita melihat “Rab Ne Bana Di Jodi” antara Cahyo dan Diana.
    Sedikit menyinggung bollywood, kalau bisa ngebuat seperti khas nya Karan Johar, mungkin lebih bagus. Despite of kelemahan penokohan, kalau dibuat seperti alur Karan Johar, akan terasa lebih cocok dengan tagline nya. Dan juga saya mendapatkan pemikiran bahwa ini bukan dipersatukan oleh Tuhan, karena Diana toh yang mencari-cari info tentang Cahyo, meskipun Diana sering makan di commune, bukan berarti mereka jumpa secara tidak sengaja. Itu menjadi minus dalam film ini.
    I’ve written this kind of article in http://zona-mtv.blogspot.com/2013/01/berbeda-keyakinan-satu-dalam-cinta.html if you wanna read. and do comments about my writings.

    Thankyou omDok.. 🙂

  5. […] Sejumlah media juga menayangkan pemberitaan mengenai pelarangan untuk film tersebut, ya jelas saya juga setuju, karena film ini juga melanggar akidah Islam, berbicara mengenai menikah beda agama, jelas dalam Islam haram. Mengambil dari sebuah blog review film yang saya baca rekomendasi dari @FILM_Indonesia mengenai film Cinta Tapi Beda dari segi netral sekaligus pengamat film, ini dia kata Daniel Irawan, silakan baca review beliau di sini. […]

Leave a comment