GUNUNG EMAS ALMAYER : A PERIOD ROMANCE OVER A LATE 19th CENTURY STUDY ON MALAYSIAN CULTURE

GUNUNG EMAS ALMAYER / HANYUT

Sutradara : U-Wei Bin Haji Saari

Produksi : Media Desa Indonesia, Tanah Licin Sdn. Bhd., 2012

GEA3

            Selagi karyanya begitu ditunggu oleh pemirsa negeri tetangga Malaysia, tak banyak mungkin pemirsa kita yang tahu siapa U-Wei, lengkapnya U-Wei Bin Haji Saari. Dikenal sebagai salah satu award winning director dengan profil tertinggi dalam perfilman mereka atas gebrakannya di sinema independen era awal ’90-an, U-Wei memang tak pernah benar-benar masuk ke ranah komersil film mereka. Walau begitu, film layar lebar pertamanya yang dibintangi aktris fenomenal Sofia Jane, ‘Perempuan, Isteri dan Jalang’, yang akhirnya dilepas badan sensor Malaysia dengan judul ‘Perempuan, Isteri dan …?’ merupakan massive box office hits yang menelurkan antrian sama panjang dengan ‘Jurassic Park’ di tahun 1993. Salah satu adegan paling kontroversial di tengah kritik sosial eksistensi wanita di pandangan konvensional masyarakat mereka, soal ‘nasi kangkang’ jadi salah satu yang paling banyak dibicarakan disana.

GEA5

            Langsung dianggap sebagai pionir yang membawa pembaharuan di sinema negerinya, film ketiga U-Wei yang juga kontroversial dan banyak menuai protes di Malaysia, ‘Kaki Bakar (The Arsonist)’ berhasil menembus Cannes’ Director Fortnight di tahun 1995, bahkan jauh sebelum Singapura dengan ’12 Storeys’-nya Eric Khoo, ataupun 14 tahun berselang, sutradara Malaysia lain, Chris Chong dengan ‘Karaoke’. Dan tak banyak juga film layar lebar setelahnya bersama beberapa film produksi TV, U-Wei masih mempertahankan idealismenya dengan ‘Buai Laju-Laju’ di tahun 2004. Ciri khas garapannya adalah studi kultural bangsanya yang terkesan sangat berani membenturkan tema-tema keluarga, kepercayaan, pandangan-pandangan gender serta seksual, tanpa juga jadi se-distinct karya-karya arthouse yang sama sekali sulit diterima penonton awam dengan faktor emosi yang masih sangat dipertahankan.

GEA6

            Tak banyak pula publikasi yang ada dibalik status ‘Gunung Emas Almayer’, adaptasi dari novel klasik Inggris karya penulis asal PolandiaJoseph Conrad,Almayer’s Folly’ yang aslinya berjudul ‘Hanyut’, yang tiba-tiba berubah status menjadi film Indonesia mengusung nama PH Media Desa Indonesia (‘Merah Putih’) di pengujung tahun ini. Sementara jejak berita rentang panjang produksi hingga penayangannya ke berbagai festival internasional dari Dubai hingga jadi film pembuka ‘JAFF (Jogja-Netpac Asian Film Festival)‘ 2013, masih dengan judul ‘Hanyut’ dan diproduksi oleh PH Malaysia, Tanah Licin Sdn. Bhd. dengan dukungan dana dari FINAS, korporasi nasional pengembangan film mereka, masih dengan mudah bisa diakses dimana-mana.

GEA11

          Oh ya, ‘Gunung Emas Almayer’, judul yang akhirnya dipakai untuk peredaran internasional agar lebih menarik atas status novelnya yang sudah dikenal banyak orang, tak salah juga ketimbang judul semula ‘Hanyut’ yang bisajadi lebih akrab dengan persepsi Melayu namun bermakna jauh lebih filosofis, memang memuat talenta-talenta film kita di dalamnya. Selain Alex Komang dan El Manik, ada juga Rahayu Saraswati yang masih punya kaitan sangat dekat dengan Media Desa. U-Wei pun memang sebelumnya sudah sering bekerja sama dengan salah satu film composer kita, Embie C. Noer, di beberapa karyanya. Peran utamanya sendiri dipegang oleh aktor Australia Peter O’Brien yang kebanyakan berkiprah di serial televisi seperti ‘The Flying Doctors’, ‘Queer as Folk’, serta pernah pula tampil dalam ‘X-Men Origins : Wolverine’.

GEA1

        Selagi media negaranya sendiri masih bertanya-tanya di awal publikasi rilis perdananya di Indonesia, mungkin yang lebih penting adalah statement U-Wei sendiri, dimana ia mengatakan bahwa karyanya tak akan komplit kalau tak bisa ditonton secara luas. Mari tak mempermasalahkan lebih jauh apa yang ada dibalik kolaborasi ini, yang jelas, tiga tahun setelah tahun pembuatan dan perjalanannya ke berbagai festival tadi, akhirnya kita bisa menikmati karya U-Wei yang memakan proses hampir tujuh tahun sebagai salah satu film Malaysia berbujet paling tinggi ini.

GEA10

         Kasper Almayer (Peter O’Brien), pedagang Belanda yang hidup di tengah-tengah situasi kolonial MalaysiaMalaka akhir abad ke-19, tengah berada dalam kondisi sulit. Selagi obsesinya menemukan emas dibalik mitos penduduk di daerah pegunungan tak kunjung berhasil atas halangan dari tentara kolonial, ulah bajak laut serta kepentingan politik Raja Ibrahim (El Manik) dan orang kepercayaannya, Orang Kaya Tinggi (Khalid Salleh, aktor langganan U-Wei dari ‘Kaki Bakar’ dan ‘Jogho’), kepulangan putrinya Nina (Diana Danielle), hasil pernikahan negosiasinya dengan wanita lokal, Mem (Sofia Jane setelah lama tak tampil di layar lebar), yang kini bermusuhan dengannya, malah menimbulkan masalah baru. Nina yang kini punya pandangan modern hasil menuntut ilmu dengan budaya barat di Singapura, tak bisa memenuhi harapan Almayer dengan impian-impian kosongnya. Menolak permintaan anak pedagang Arab Sahed Rasyid (Bront Palarae) melalui pamannya (Alex Komang), Nina malah menjalin hubungan dengan Dain Maroola (Adi Putra), putra mahkota salah satu kerajaan Melayu, yang semakin dalam menjanjikan harapan atas gunung emas dibalik rencana lain melawan kolonialisme Inggris dengan menyeludupkan bubuk mesiu. Pertentangan Almayer atas hubungan ini akhirnya memuncak bersama rencana pelarian Nina dan Dain di tengah pencarian tentara kolonial yang menganggap Dain sebagai buronan, sementara masih ada penjual kue asal Jawa, Tamina (Rahayu Saraswati) yang selama ini mencintai Dain.

GEA8

         Sama seperti film-film U-Wei yang lain, sebenarnya tak sulit untuk menemukan jawaban mengapa ia memilih novel Joseph Conrad untuk kembali ke layar lebar setelah cukup lama stagnan dalam karirnya. Dibalik kisah percintaan lintas budaya di tengah kolonialisme zaman itu, ada konflik keluarga serta gambaran lapisan masyarakat Melayu dengan ragam kultur yang kuat membentuk karakter-karakter serta motivasi mereka. Dan judul Gunung Emas sama sekali tak membawanya ke ranah adventure, walaupun ada elemen itu disana, namun lebih menjadi simbol kuat atas keangkuhan dan harapan-harapan dari tokoh-tokohnya.

GEA9

         Sophisticated touch U-Wei masih jelas terlihat di tengah pendekatan-pendekatan dramatisasi yang cenderung sangat teatrikal tapi tak lantas kehilangan sentuhan komunikatifnya diatas bangunan set, teknis dan production values lain dari desain produksi Sam Hobbs (‘Beneath Hill 60’) yang dibangun di Kuala Lipis dan Pekan, PahangMalaysia, dan memang jelas menggambarkan bujetnya yang tak sedikit. Malah, tak jadi kelewat kolosal maupun bombastis, elemen-elemen ini berhasil menciptakan latar yang kuat serta terlihat cukup megah untuk guliran plot-nya. Scoring dari Cezary Skubiszewski (‘Beneath Hill 60’, HBO series’ ‘Serangoon Road’) dan sinematografi DoP Polandia Arkadiusz Tomiak juga sama baiknya dalam menekankan konflik interkultural beserta lapis-lapisannya ini.

GEA7

           Bagi sebagian orang, yang paling muncul ke permukaan setelah penjelasan panjang karakternya mungkin adalah sebuah kisah cinta yang mungkin terasa tak benar-benar matang, tapi percayalah, novel aslinya pun tak pernah mengedepankan sisi itu, melainkan lebih ke character study diatas penelusuran antropologis terhadap koneksi interkultural di masa kolonialisme Malaysia tadi. Dan semua bisa tersampaikan dengan baik oleh akting-akting kuat para pendukungnya. Chemistry-nya sedikit naik turun, memang, baik antara Diana Danielle dengan Peter O’ Brien dan Adi Putra, namun masing-masing bisa tampil cukup baik, terlebih Sofia Jane yang selalu bisa jadi sorotan utama, Khalid Salleh, bersama sederet aktor-aktor kita terutama El Manik dan Rahayu Saraswati yang memang mendapat porsi lebih dibanding Alex Komang. Sementara Bront Palarae, rising actor di industri film mereka yang barusan muncul dalam film Nik Amir Mustapha, ‘Nova : Terbaik dari Langit’ juga jadi dayatarik lebih bagi pemirsa lokalnya.

GEA4

          Sayang sekali memang promosi atas rilis perdananya di Indonesia masih terasa kurang maksimal di tengah banyaknya pertanyaan-pertanyaan tak terjawab atas status kepemilikan filmnya sendiri, belum lagi digerus oleh dua blockbuster Hollywood paling ditunggu tahun ini, ‘Interstellar’ dan ‘Big Hero 6’ yang jauh lebih menyita perhatian. Begitupun, ‘Gunung Emas Almayer’ tetaplah karya sinematis yang sangat layak untuk disimak dan sayang sekali kalau sampai terlewat. Memuat studi atas kultur masyarakat Melayu di zamannya, dari masalah kolonialisme ke perdagangan antar bangsa hingga hubungan-hubungan lintas kultur ini juga sekaligus jadi media yang bagus untuk lebih mengenal sepak terjang U-Wei menunjukkan sisi berbeda sinema Malaysia yang selama ini mungkin luput dari perhatian kita. (dan)

~ by danieldokter on November 13, 2014.

One Response to “GUNUNG EMAS ALMAYER : A PERIOD ROMANCE OVER A LATE 19th CENTURY STUDY ON MALAYSIAN CULTURE”

  1. Di Medan nggak tayang ya bang, sayang sekali

Leave a comment