KILLERS
Sutradara : The Mo Brothers (Timo Tjahjanto & Kimo Stamboel)
Produksi : Nikkatsu, Gueriila Merah Films, Damn Inc, Media Prima Production, PT Merantau Films, Million Pictures, 2014
First of all, no. Ini bukan ‘Rumah Dara’ a.k.a. ‘Macabre’, kalaupun kiprah The Mo Brothers (Timo Tjahjanto & Kimo Stamboel) dalam debutnya begitu mengesankan buat bloodthirst audience kita. Although inevitable, sebuah debut genre movie memang kerap melekatkan signature spesial bagi banyak sineas-sineas di ranah sejenis. Toh bukan berarti effort mereka selanjutnya harus terus-menerus berada di kotak yang sama, walaupun masih punya keterkaitan di sana-sini. Pun begitu untuk dua karya Timo selanjutnya, bersama Gareth Evans di segmen ‘Safe Haven’ untuk ‘V/H/S 2’ atau ‘L For Libido’ untuk ‘The ABCs Of Death’, yang lebih gamblang lagi menggelar tontonan berdarah-darah tanpa kendali buat tontonan lokal kita.
‘Killers’ yang merupakan joint venture bersama Nikkatsu Corporation, salah satu studio tertua di Jepang dalam rangka 100th anniversary projects di luar gempuran ‘Sushi Typhoon’-nya sekaligus partnership distribusi internasional mereka dengan XYZ Films dan Gareth Evans ini masih tetap memuat signature bloodbath The Mo Brothers. Ada juga sedikit nafas genre movie yang bercampur-aduk di dalamnya, dari film-film ala Takashi Miike hingga inspirasi-inspirasi lain dari luar, namun secara keseluruhan, tone-nya jauh berbeda. Menggagas ide ‘the beast within’ lewat penelusuran psikologis dua karakter utamanya, ‘Killers’ lebih mirip sebuah gory psychological thriller yang digarap dengan atmosfer muram serta melankolis. Dukungan Nikkatsu bersama skrip yang ikut ditulis oleh salah satu produsernya, Takuji Ushiyama, tetap mempertahankan tone film-film Jepang sejenis dengan cukup kental.
Dibalik sosok perlente-nya, tak ada yang menyangka kalau Nomura Shuhei (Kazuki Kitamura) adalah seorang serial killer. Aksi-aksi terhadap para korbannya yang selalu direkam dan disebarkan lewat sebuah situs, akhirnya menginspirasi Bayu Aditya (Oka Antara), seorang jurnalis di Jakarta yang sudah sejak lama terobsesi membuka kejahatan pejabat korup, Dharma (Ray Sahetapy) hingga kehilangan istrinya, Dina (Luna Maya), untuk menjadi seorang vigilante dan mengikuti jejak Nomura mengunggah aksinya. Rekaman yang menuai reaksi tak diduga ini segera menarik perhatian Nomura hingga memicu koneksi unik diantara keduanya. Bayu tak menyadari bahwa ia terperosok kian dalam, sementara, like a battle of supremacy, Nomura tak begitu saja bisa melepas obsesinya terhadap Bayu.
Membawa pemirsanya seolah masuk menelusuri naluri dan isi pikiran pembunuh berantai lewat karakter Nomura dan Bayu secara paralel dari dua sekuens terpisah di Jepang dan Indonesia, skrip Timo dan Takuji membangun interkoneksinya dengan cukup unik. Sambil menggelar beberapa adegan penuh kesadisan eksplisit plus sebuah rumbling scene cukup seru yang sebagian terpaksa dibabat sensor, terutama untuk kepentingan peredaran nasionalnya, pace-nya bisa jadi bergerak lambat dengan perbedaan yang agak kontras antara set dua negaranya. Sulit rasanya mempercayai dua sekuens itu dibesut oleh DoP yang sama, Gunnar Nimpuno, yang bisa menghadirkan scene-scene berlatar Jepang dengan begitu sempurna, namun di sisi lain, perbedaan ini juga masih bisa berjalan cukup sinkron menjelaskan bangunan karakter Nomura dan Bayu yang dipisahkan dengan kontras kegilaan killer instinct dan motivasi berbeda bersama tekanan dalam konflik masing-masing. Ada sedikit kekurangan dalam sound design yang beberapa kali kehilangan detil penekanan terhadap adegan-adegan gory itu, namun scoring Aria Prayogi – Fajar Yuskemal bekerja dengan sangat baik membangun tone melankolisnya.
Walau konflik yang dihadirkan terlihat lebih menuntut Oka Antara untuk berakting lebih intens serta meledak-ledak, namun nyawa terkuat ‘Killers’ memang ada pada Kazuki Kitamura. Bukan berarti Oka tak bagus, namun sudah menghadirkan akting se-intens itu pun, Oka agaknya harus tetap menyerahkan layar dan perhatian pemirsanya pada performa Kitamura. Tanpa harus terlalu banyak melakukan penekanan ekspresi, sosok dan detil-detil bahasa tubuh Nomura bisa dibawakannya dengan begitu sempurna. Ray Sahetapy lagi-lagi bermain sangat tipikal bersama Epy Kusnandar yang kelihatannya bakal jadi aktor langganan mereka, sementara Rin Takanashi (Abbas Kiarostami’s ‘Like Someone In Love’) dan Luna Maya memang tak mendapat kesempatan lebih banyak dibalik karakter mereka yang sebenarnya cukup penting dalam distraksi motivasi dua lead itu. Masih ada aktris Jepang Mei Kurokawa, aktris cilik Ersya Aurellia serta penampilan singkat Roy Marten dan Tara Basro.
Bagi The Mo Brothers, berkiprah di genre cinema mungkin memang ini resikonya. Dari perbandingan ini dan itu, litres of blood yang tak pernah bisa terasa cukup, detil-detil motif hingga masalah-masalah penelusuran logika yang sebenarnya sah-sah saja ada di tontonan sejenis, memang akan sulit dihindari buat ekspektasi fans genre-nya. Namun di luar tone melankolis yang begitu membius bersama sekuens-sekuens bak lukisan seduktif tapi mematikan itu, hal terbaik dari ‘Killers’ adalah eksplorasi psikologis-nya yang sangat thought-provoking. Jarang-jarang bisa didapat di film kita, bahwa seperti tagline yang diusungnya, ‘Inside Us, Lives a Killer’, this could awaken your beast within. A ferociously alluring bloodbath melancholia! (dan)
~ by danieldokter on February 8, 2014.
Posted in dangerous minds, destinasian : indonesia, destinasian : japan
Tags: Aria Prayogi, Epy Kusnandar, Ersya Aurelia, Fajar Yuskemal, Gareth Evans, Gunnar Nimpuno, Kazuki Kitamura, Killers, Kimo Stamboel, L For Libido, luna maya, Mei Kurokawa, movie, Nikkatsu, Oka Antara, ray sahetapy, review, Rin Takanashi, roy marten, Rumah Dara, Safe Haven, Sushi Typhoon, Takashi Miike, Takuji Ushiyama, tara basro, The ABCs Of Death, The Mo Brothers, Timo Tjahjanto, V/H/S 2