A COPY OF MY MIND: CETAK BIRU JOKO ANWAR SOAL JAKARTA

A COPY OF MY MIND

Sutradara: Joko Anwar

Produksi: Lo-Fi Pictures, CJ Entertainment, 2015

A Copy of My Mind

            Ada alasannya mengapa Joko Anwar bisa jadi salah satu sineas terdepan negeri ini, sekaligus salah satu representasi terkuat sinema Indonesia di mata dunia. Bukan karena ia berangkat dari karirnya sebagai kritikus film, tapi lebih dari itu, Joko adalah penonton. Tapi bukan penonton yang hanya sekedar ‘penonton’, ia adalah seorang afficionado. Orang-orang yang menyerap film bukan hanya dengan sekedar melihat.

            Now, if you happened to know him further, sejak debut award winning script-nya di ‘Arisan’ yang diawali dari nyinyirannya soal film yang datang dari produsernya di situ, berlanjut ke penyutradaraan di ‘Janji Joni’ hingga sekarang, dengan pemikiran-pemikiran liar-nya, Joko juga bukan hanya sineas, tapi pengamat segala hal di sekitarnya, apalagi politik. But no. ‘Kenal’ di sini bukan berarti ‘kenal’, tapi lebih mengenal latar seorang sineas dari circle-circle bahkan yang berbeda sekali pun di sekitar kita, terkadang – seperti yang dikatakan salah satu kritikus senior Indonesia yang cukup saya hormati, bisa memberikan POV lain dalam memandang serta memahami karya-karyanya.

          Dan setelah absen dari layar lebar beberapa tahun sambil membangun kembali kekuatannya lewat Lo-Fi Flicks, rumah produksi bernama keren di mana ia berkolaborasi bersama Tia Hasibuan – yang sudah lama jadi co-producer film-filmnya dan kemarin ikut memproduseri small yet lovely indie film What They Don’t Talk About When They Talk About Love’ (Mouly Surya) – dan Uwie Balfas, Joko kini menyelam ke ranah low budget film berlingkup kecil yang agak beda dari karya-karyanya yang biasa. Karya yang dibangun penuh keterbatasan lewat kemenangannya dari pendanaan festival luar,  di mana Joko agaknya tak sekedar tengah bercerita dengan fantasi-fantasi liarnya yang biasa, tapi lebih dari itu, menuangkan segala tetek bengek dunia sekitar yang selama ini ia amati dan tertinggal dalam benaknya. Thus, ‘A Copy of My Mind’ adalah cetak biru dari isi pemikiran-pemikiran itu. Ini Joko, sedang bicara tentang Jakarta.

          However, sebuah narasi tentu perlu pelaku. Lewat Sari (Tara Basro), seorang pekerja salon yang sehari-hari hidup sesederhana hobi nonton serta kamar kos sempitnya di lorong-lorong kumuh Jakarta, dan Alek (Chicco Jerikho), lelaki nyentrik yang menopang hidup sebagai pembuat teks DVD bajakan, dua manusia yang dipertemukan atas minat dan insting paling manusiawi tiap orang, di balik kekacauan politik kampanye presiden di sekitar mereka, potret pemikiran itu digulirkan Joko ke pemirsanya. Then the journey begins.

             Some of you might remember, ada nyinyir-nyinyiran sebagian orang dulu tentang tampilan lorong-lorong kumuh Jakarta di film-film joint venture PH luar yang beda kontras dengan keindahan sinetron atau film-film yang mengetengahkan latar kehidupan jetset – metropolis ibukota. In terms of afficionados, alah satu yang berjudul ‘Jakarta’ (di sini berjudul ‘Peluru dan Wanita’), yang mungkin masih lekat sekali dalam pikiran Joko, ikut tertuang di sini. Bedanya, di kala kekumuhan itu jadi gimmick beralasan eksotis di film-film beratmosfer sejenis, bahkan well, hingga sekarang di ‘Blackhat’-nya Michael Mann tempo hari, Joko mentransformasikan atmosfernya berbalik menjadi sebuah kejujuran cara tutur yang terasa begitu relevan dengan struggling ideas yang dimuatnya di sini. Kekumuhan Jakarta itu jadi potret yang jujur, mentah seolah tanpa polesan sekaligus intim bersama bunch of extras yang berinteraksi di dalamnya (Maera Panigoro, Ario Bayu, Paul Agusta, Ronny P. Tjandra di antaranya) sebagai latar yang ikut berbicara sekuat karakternya.

         Bersamanya, tata teknis dari sinematografi Ical Tanjung yang menyorot raw grittiness tadi menjadi mata kita buat berkaca buat keindahan kecil bagi sebagian kaumnya tanpa perlu menyemat tetek bengek dan metafora atau paradoks terlalu jauh, artistik Windu Arifin, rias-kostum Edo Rahmat yang natural berikut sound design Yusuf PatawariKhikmawan Santosa plus scoring dan soundtrack dari Rooftop Sound membentuk blend yang solid buat keseluruhan atmosfernya. Simple, raw, tapi tak sekalipun kehilangan kecantikannya.

          And no, ‘A Copy of My Mindis not just disguising itself as a love story, nor a completely extreme one, walaupun mungkin itu kesan terdepan yang ditangkap banyak orang. Ada subtext kuat soal terperangkap tanpa bisa kemana-mana, tapi juga ada struggling, harapan dan cinta dalam lapis terdasarnya. Dialog-dialognya, juga ditampilkan sangat raw, walau sekilas terkesan ngalor-ngidul saja, namun jauh lebih dari itu, bekerja sebagai fondasi kokoh bersama bentukan karakter-karakternya, di mana tiap rutinitas yang ditampilkan sebenarnya punya relevansi kuat menuju konklusi menohok yang ditampilkan Joko bersama satir-satir kecil hingga referensi-referensi ngehe-nya soal kultur pop termasuk film dan piracy. Ia memang liar, juga tak meninggalkan kegemaran Joko menggambarkan kesadisan walau tak harus bersimbah darah seperti biasa, tapi tanpa mesti terlihat lantang dan berteriak-teriak. Lingkupnya boleh jadi sempit, tapi efeknya luarbiasa haunting.

           On the top of it, kecantikan utama ‘A Copy of My Mind’ memang ada dalam balutan intimacy yang ditampilkan Joko dengan pencapaian luarbiasa. Never-before-seen in our history of cinema, semua sparks, lust dan sexual intimacy di balik lenguhan-lenguhan dan bintik-bintik peluh itu diterjemahkan begitu meyakinkan di atas chemistry dan interaksi akting Tara Basro dan Chicco Jerikho. At every inch, membuat kita bisa percaya dengan motivasi-motivasi karakter mereka bersama kenakalan-kenakalan yang relevan hingga tak lagi terasa sebagai sematan jorok semata. Being a blue print of Joko Anwar’s mind about Jakarta beyond an astounding portrait of intimacy, ‘A Copy of Mind’ adalah sebuah kematangan. One truly wild ride. Ini Joko Anwar, sedang bicara soal Jakarta. (dan)

~ by danieldokter on February 16, 2016.

One Response to “A COPY OF MY MIND: CETAK BIRU JOKO ANWAR SOAL JAKARTA”

  1. Anjing jelek banget reviewnya. Kebanyakan ngomong Joko, tapi bahasan filmnya patah-patah dan gak utuh. Lo ngasih kata ‘Jakarta’ di judul tapi gak ngebahas konten2 Jakarta di filmnya.

Leave a comment