LEE DANIELS’ THE BUTLER : AN ALL STAR HISTORY LESSON

LEE DANIELS’ THE BUTLER

Sutradara : Lee Daniels

Produksi : Laura Ziskin Productions, Windy Hill Pictures, The Weinstein Company, 2013

TB2

            Even if you’re really into movies, sama sekali tak salah bila persepsi pertama terhadap ‘Lee Daniels’ The Butler’ adalah sebuah pertanyaan atas judul lengkap yang memuat nama sang sutradara itu. Bukan berarti Lee Daniels bukan siapa-siapa. Dari sederet film yang cukup bagus termasuk ‘Monster’s Ball’ yang diproduserinya, nama Daniels benar-benar menanjak ketika ‘Precious’ (yang juga punya judul lengkap sangat panjang dan tak lazim, ‘Precious : Based on the Novel “Push” by Sapphire’ tiba-tiba menyeruak dengan 6 nominasi di 82nd Academy Award, bahkan memenangkan Best Adapted Screenplay untuk Geoffrey Fletcher dan Best Supporting Actress untuk Mo’Nique secara gemilang. Dalam sekejap, Lee Daniels menjadi remarkable director with awards written all over his name.

TB7

            Karya selanjutnya, ‘The Paperboy’ yang lagi diangkat dari novel terkenal karya Pete Dexter ikut berkompetisi memperebutkan Palme D’Or di Cannes 2012. Dengan mudah, Daniels mengumpulkan nama-nama besar seperti Nicole Kidman, John Cusack, Matthew McConaughey untuk bergabung di filmnya, termasuk memberikan jalan untuk peran-peran yang lebih serius bagi Zac Efron. Meski resepsi kritikus kemudian tak begitu bagus, carreer history-nya sudah cukup buat menjadikannya seorang profilic director.

TB9

            Layak atau tidak, ‘The Butler’ yang merupakan fictionized biopic dari Eugene Allen, the White House’s African-American butler yang bekerja selama 34 tahun berdasar sebuah artikel Washington PostA Butler Well Served by This Election’ oleh Wil Haygood, toh awalnya tak pernah dimaksudkan memakai judul dengan nama Daniels. Hanya saja, klaim keberatan dari Warner Bros atas sebuah film bisu mereka berjudul sama di tahun 1916 lewat MPAA terpaksa membuat distributornya, Weinstein Company, akhirnya menambahkan nama Daniels di depan judul itu. Skripnya ditulis oleh Danny Strong, actor-turn-writer yang memang sudah membesut dua film bertema politik untuk HBO, ‘Recount’ dan ‘Game Change’, dan wujudnya sebagai kisah nyata berlatar racism dan ekses dari politik apartheid ke pemerintahan AS, jelas sangat mengundang perhatian. Bahkan bujetnya tak begitu besar dibalik banyaknya nama-nama besar yang mau ikut jadi bagian dalam film ini.

TB3

            Menggantikan nama Eugene Allen sebagai sumber inspirasinya, ‘The Butler’ mengisahkan riwayat hidup Cecil Gaines (dewasanya diperankan Forest Whitaker) yang tumbuh besar di perkebunan Macon, Georgia tahun ’20-an. Menyaksikan ayahnya dibunuh oleh pemilik perkebunan (Alex Pettyfer) yang juga memperkosa ibunya (Mariah Carey), Cecil kemudian diasuh oleh ibu sang pemilik, Annabeth Westfall (Vanessa Redgrave) yang menugaskannya sebagai pelayan rumah. Meninggalkan Westfall dan ibunya yang trauma sejak kejadian itu, Cecil yang mencoba mencuri makanan di sebuah toko roti hotel malah mendapat keahlian dari kepala pelayan hotel, Maynard (Clarence Williams III) yang lantas merekomendasikannya untuk bekerja sebagai pelayan hotel di Washington DC. Disana ia bertemu dengan Gloria (Oprah Winfrey) yang dinikahinya dan melahirkan dua anak laki-laki. Tak lama kemudian, Cecil mulai meniti karir panjangnya sebagai pelayan Gedung Putih sejak 1957 di masa kepemimpinan Dwight D. Eisenhower (Robin Williams). Bersahabat dengan kepala pelayan Carter Wilson (Cuba Gooding, Jr.) dan co-worker James Holloway (Lenny Kravitz), serta tetangganya, Howard & Gina (Terrence Howard & Adriane Lenox), masalah mulai muncul ketika Cecil menentang anak tertuanya, Louis (David Oyelowo) yang menjadi aktifis anti apartheid di universitasnya. Kesibukannya juga membuat Gloria yang kesepian menjadi alkoholik dan nyaris berselingkuh dengan Howard. Melewati masa demi masa pemerintahan AS dari Presiden John F. Kennedy (James Marsden), Lyndon B. Johnson (Liev Schreiber), Richard Nixon (John Cusack) sampai ia mengakhiri karirnya di masa pemerintahan Ronald Reagan (Alan Rickman), Cecil sekaligus menjadi saksi hidup langsung dari gejolak politik antar ras ini hingga terpilihnya Barack Obama sebagai Presiden Afrika-Amerika pertama AS di tahun 2008.

TB4

            It’s true, selain kisah sejati seorang pelayan kepresidenan yang penuh dengan keteguhan melalui rentang waktu panjang di tengah gejolak rasisme itu, daya tarik terbesar ‘The Butler’ ada pada all-star ensemble cast-nya. Selain nama-nama yang sudah disebut diatas, yang sudah jelas tak tampil dengan akting sembarangan, masih ada Minka Kelly sebagai Jackie Kennedy dan Jane Fonda sebagai Nancy Reagan. Sayang footage Melissa Leo sebagai Mamie Eisenhower dibabat di meja editing. Tapi yang tampil dengan akting terkuat membawa storytelling puluhan tahunnya adalah Forest Whitaker, dengan dukungan bagus dari Oprah Winfrey dan David Oyelowo yang jadi fokus utama konflik internalnya.

TB8

            Then again, ini memang filmnya Lee Daniels. Ditambah skrip Danny Strong yang memaparkan proses-proses kisah hidup Cecil Gaines secara kronologis hingga mirip pelajaran sejarah secara lumayan detil itu, Daniels memang menggunakan cinematic approach-nya yang sangat kental. Seperti film-filmnya yang lain, ia memilih untuk menjauh dari dramatisasi dan permainan emosi berlebihan. Lebih menunjukkan kegetiran yang dibalut dengan atmosfer realistik, ‘The Butler’ jadinya berada di dua sisi koin berbeda bagi ekspektasi pemirsanya.

TB6

             Sebagian mungkin lebih menyukai pendekatan berbeda yang jelas akan lebih kaya dengan informasi dan pandangan-pandangan penuh protes yang digelar secara halus tanpa gambaran hitam putih ini, namun untuk yang lebih memilih pendekatan emosional sebagaimana layaknya film-film berlatar konflik rasisme biasanya, dramatisasi ‘The Butler’ akan jadi sangat mentah. Bahkan scoring dari Rodrigo Leão pun seakan tak pernah sekalipun dibiarkan mendistraksi emosinya. Walau beberapa sisi plotnya tetap punya emosi, terutama dari akting Whitaker yang cukup intens, namun penyampaiannya jadi tak begitu komunikatif untuk bisa bermain dengan perasaan penonton.

TB10

            Begitupun, ‘The Butler’ tetap punya keunggulan lebih dalam sisi teknisnya. Handsomely designed dalam keseluruhan produksinya, lewat bangunan set, makeup hingga kostum-kostumnya yang punya detil cukup otentik, rekonstruksi sejarah lewat adegan-adegannya hadir dengan sangat baik, dengan potensi besar dilirik para juri dalam berbagai ajang penghargaan. An all star history lesson yang sangat informatif, tapi jelas bukan untuk penonton yang menyukai dramatisasi serba emosional. (dan)

~ by danieldokter on November 4, 2013.

Leave a comment