SAYAP KECIL GARUDA : NASIONALISME DALAM FILM ANAK

SAYAP KECIL GARUDA 

Sutradara : Aditya Gumay

Produksi : Brajamusti Film, Smaradhana Pro, 2013

SKG1

            Seperti apa sebenarnya film anak yang baik?  Jawabannya bisa bermacam-macam, apalagi rentang patokan usianya bisa melebar sampai pra-remaja. Belum lagi kalau dibenturkan dengan kemajuan zaman dimana kebanyakan anak-anak sekarang tak lagi selalu mengkonsumsi media yang sesuai dengan usia mereka. Tapi dalam bentuk yang paling murni, tentulah berupa sebuah tontonan yang dapat dinikmati anak. Diserap dengan mind set yang secara umum akan sangat berbeda dengan orang dewasa, termasuk kalaupun ada, selipan edukasi atau pesan moral, no matter how some of us hate that term, yang memang mau tak mau harus diakui kerap jadi syarat mutlak sebuah tontonan anak.

SKG8

           Sebagai sineas, Aditya Gumay yang dikenal lewat ‘Lenong Bocah’ dan juga mendirikan sanggar seni untuk kalangan usia mereka, memang punya signature yang kental dalam hal itu. Ketika sineas lain mungkin melupakan elemen-elemennya demi distinguished style yang maunya kelihatan beda atau alasan lain, film-film anak karya Aditya yang belakangan selalu berkolaborasi dengan Adenin Adlan sebagai penulis/produsernya, selalu tampil polos dan jujur dalam menyampaikan pesan-pesan simpel tadi, tanpa juga pernah melupakan sisi hiburan dengan sempalan komedi atau musikal yang juga sangat anak-anak.

SKG9

           Begitu juga ‘Sayap Kecil Garuda’ yang diangkat dari skrip pemenang lomba skenario bertema anak dan perjuangan karya Melia Artophoria dengan kucuran dana dari kementrian Parekraf sebagai bentuk dukungannya ini. Tak jauh beda seperti film anak Aditya sebelumnya, ‘Rumah Tanpa Jendela’, walau premisnya mungkin kedengaran kurang populer untuk saat sekarang, wadah untuk menyampaikan tendensi moral berupa nasionalisme itu juga serba simpel dan polos. Tentang seorang anak yang kesulitan menghafal Pancasila. Hanya saja, berkaitan dengan masalah kontroversi kepemimpinan organisasi salah satu insan film tertua di negeri ini, keterlibatan Gatot Brajamusti tanpa bisa dihindari lagi-lagi menjadi sebuah distraksi bagi sebagian kalangan, apalagi setelah ‘Azrax’ yang disambut dengan olok-olok. Namun begitu, sama seperti ‘Tanah Surga…Katanya’ tempo hari, mari melepaskan faktor-faktor itu untuk tak menyampingkan niat baiknya. Itu juga kalau bisa.

SKG5

          Sebagai siswa kelas 2 SMP yang sempat tinggal kelas berkali-kali, Pulung (Rizky Black) yang punya kelemahan daya ingat sulit sekali menghafal Pancasila dan makna-makna lambangnya. Kekurangan ini akhirnya menjadi masalah besar kala sekolah mereka yang notabene SMP favorit itu diliput oleh sebuah televisi. Padahal, dalam kehidupan sehari-harinya, Pulung yang tinggal bersama kakek yang dipanggilnya Abah (Gatot Brajamusti) sepeninggal ibunya (Reza Artamevia) yang bekerja sebagai TKI di luar negeri adalah anak yang baik dan selalu mengamalkan Pancasila dalam kesehariannya. Tak pernah lupa mengaji dan selalu menolong orang dan teman-temannya, ia juga selalu membantu Abah mengumpulkan beras perelek di kampungnya. Bakat lebihnya dalam menggambar yang didalaminya dari warga baru bernama Pak Zul (Fuad Idris) lantas menjadi motivasi Pulung untuk menggantikan sepeda Abah-nya yang rusak, sementara kebaikannya juga membuat ia dicalonkan menjadi ketua OSIS bersama Fandi (Diza Refengga), siswa populer di sekolah dan Asih (Baby Mamesa) yang bersimpati padanya.

SKG7

             Still at its purest form, sebagai film anak, Aditya dan Adenin memang tetap membesut ‘Sayap Kecil Garuda’ dengan kejujuran dan kepolosan anak yang cukup memikat. Konflik utama hafalan Pancasila, walau dihadirkan dengan sebagian dialog kelewat verbal terutama di bagian-bagian penghujungnya, secara keseluruhan tak lantas membuat plot dari skrip Melia yang juga disempurnakan mereka menjadi cerewet dalam menyampaikan pesan nasionalisme-nya, tapi cukup hanya sebatas simbol yang mengalir bersama karakter-karakter dan interaksi yang tergambar dengan wajar, lucu dan sesekali menyentuh bersama scoring Adam S. Permana yang selalu jadi bagian penting melebihi teknis lain termasuk sinematografi yang terkesan sangat sederhana di film-film Aditya seperti biasanya. Subplot-subplot tambahan camp pemilihan ketua OSIS dan sempalan-sempalan komedinya mungkin sedikit membuat pesan utamanya jadi sedikit melebar, namun tetap ada benang merah yang menyatukan semua menuju ending yang tak juga lantas jadi punya konklusi yang harus dipaksakan jadi bombastis.

SKG4

          Sebagai Pulung, Rizky Black bermain sangat baik tanpa harus membiarkan kekonyolan-kekonyolan karakternya mentok di eksploitasi yang tak diperlukan. Pendukung-pendukungnya, Adam Syachrizal sebagai Dadang, Diza Refengga dan Baby Mamesa juga cukup baik dalam kepolosan akting sesuai usia mereka. Sementara Fuad Idris juga memberikan sentuhan dramatis yang pas. Di luar penampilan Deddy Mizwar, Reza dan Elma Theana yang tipikal, Gatot Brajamusti sendiri sebenarnya sudah memerankan Abah dengan baik, namun sayangnya lagi-lagi tak bisa melepas faktor-faktor x (baca = narsis) ala ‘Azrax’ yang akhirnya jadi terkesan agak mengotori niat baik tadi secara keseluruhan dengan sempalan adegan komedi yang sebenarnya sama sekali tak perlu ada.

SKG2

                Begitupun, kekurangan ini bukannya lantas membuat ‘Sayap Kecil Garuda’ jadi kehilangan sentuhan Aditya dalam bentuk paling murni tadi sebagai film anak-anak yang baik. Film ini tetap sangat jujur, polos serta mendidik. Hanya saja, pada titik ini, dalam carut-marut masalah perfilman kita yang tak selesai-selesai, agaknya memang jadi sulit memisahkan niat dengan kepentingan-kepentingan yang akhirnya mendistraksi kebaikan sebuah film, dan itu artinya sayang sekali. (dan)

 

~ by danieldokter on February 2, 2014.

Leave a comment