FURY : A RARE WW2 TANK PLATOON SUBGENRE

FURY

Sutradara : David Ayer

Produksi : Le Grisbi Productions, QED International, Lstar Capital, Crave Films, Columbia Pictures, 2014

FUR10

            Tak seperti di era ‘70an ke awal ‘80an, genre WW2 bukan lagi jadi trend sekarang. Kalaupun ada, kebanyakan hanya menggunakannya sebagai set dengan fokus lebih ke genre drama atau biopik. Tapi bukan berarti kita tak mendapat satu dua yang bagus diantara jumlah keseluruhan yang tergolong minim itu. Malah, hampir satu dekade lalu, ‘Saving Private Ryan’ dan ‘The Thin Red Line’ pernah hadir dalam waktu bersamaan dengan kelebihan masing-masing dari pendekatan yang jauh berbeda.

FUR1

            Datang dari ide David Ayer, ‘Fury’ sebenarnya sangat menjanjikan sebagai sebuah penyegaran tema. Menyorot subgenre tank war, yang malah lebih jarang lagi diangkat jadi fokus utamanya, deretan cast-nya pun terasa penuh respek kepada template war classics yang hampir selalu hadir dengan ensemble cast. Bergabung bersama Brad Pitt di porsi lead-nya, ada 4 Jewish actors ; Shia LaBeouf, Jon Bernthal, Logan Lerman dan Jason Isaacs, dan masih ada Michael Peña, plus Xavier Samuel dan Scott Eastwood, putra Clint Eastwood, di porsi supporting yang sama sekali tak terlihat menonjol. Begitupun, nilai paling lebihnya tetaplah ada di soal tank war, battle atau tank platoon yang dihadirkan dengan detil-detil luarbiasa melebihi film-film WW2 yang selama ini ada. Seriously.

FUR9

              Di tengah serbuan final pihak sekutu menumpas Nazi di masa-masa akhir PD2, US Army Sgt. Don ‘Wardaddy’ Collier (Brad Pitt) dari 66th Armored Regiment, 2nd Armored Division, mengepalai peleton tank dengan M4A3E8 Sherman tank, dijuluki ‘Fury’ dalam misi mereka. Kru-nya pun diisi oleh para veteran tank, Boyd ‘Bible’ Swan (Shia LaBeouf), penembak yang relijius, pengisi amunisi Grady ‘Coon-Ass’ Travis (Jon Bernthal) yang temperamental dan Trini ‘Gordo’ Garcia (Michael Peña), pengemudi yang jauh lebih tenang. Terbunuhnya salah satu kru mereka membuat posisi asisten driver/gunner diisi oleh Norman Ellison (Logan Lerman), juru tik yang belum pernah terjun ke tengah-tengah perang. Pelan-pelan, Ellison mulai dibentuk oleh Collier untuk menjadi kru tangguh dengan julukan barunya, ‘Machine’, hingga akhirnya mereka harus menerima takdir menjadi satu-satunya tank yang tersisa dalam peletonnya saat berhadapan dengan batalion infanteri Nazi setelah mengalahkan tank Tiger I Jerman.

FUR8

             Oh yes. Hal terbaik dalam ‘Fury’ jelas adalah subgenre tank war-nya sendiri, yang mengusung titular tank name-nya di judul singkat, pasaran tapi tetap menjual itu. Akurasi hal-hal technical dari senjata, kostum ke latar sejarahnya, mostly tanks, dengan kuat bisa dituangkan Ayer di skrip yang digawanginya sendiri, terinspirasi dari buku-buku dokumentasi WW2 dengan detil jauh lebih ketimbang film-film dengan subgenre sama yang pernah kita saksikan. Selagi subgenre U-boat sudah mencatat ‘Das Boot’ dan serangkaian film lain dengan detil yang sama kuat, dalam soal tank, terlebih untuk orang-orang yang menaruh perhatian lebih ke jenis persenjataan seputar WW2 ini, ‘Fury’ jelas jadi pemenangnya.

FUR5

               Sementara ranah dramatisasinya, walau tak spesial, bisa mengalir dengan chemistry yang bagus diantara cast-nya. Kisah mentor to protege bukan lagi sesuatu yang benar-benar baru, tapi di tangan ensemble cast-nya, ada bidikan-bidikan lain yang memuat penekanan khas Ayer bermain di konflik-konflik gritty sambil tetap menggelar anti-war message-nya di tengah pengadeganan penuh kekerasan secara lebih realistis tapi manusiawi di sepanjang film, bahkan menyerempet ke salah satu adegan terbaiknya dari kamar tidur ke meja makan di sebuah rumah Jerman bersama aktris Anamaria Marinca dan Alicia von Rittberg sebagai pretty yet haunting distraction terhadap tema perang lewat penelaahan human’s basic instinct. It felt a bit naughty, but never out of places.

FUR7

              Hal-hal filmis lainnya pun tertata dengan sangat baik. Sinematografi Roman Vasyanov, DoP asal Rusia yang sudah bekerja bersama Ayer di ‘End of Watch’ berikut sejumlah film-film kecil dengan resepsi bagus, ‘The Motel Life’, ‘The East’ dan ‘Charlie Countryman’ yang juga dibintangi Shia LaBeouf, tak pernah melepaskan fokusnya dari penggambaran perang yang tak perlu terlalu kolosal namun menjadikan tank serta kru-nya sebagai subjek utama. Scoring dari Steven Price juga sama baiknya dalam penekanan emosi-emosi karakternya.

FUR4

          Dan di departemen akting, pilihan cast-nya juga juara. Kita sudah tahu bagaimana Brad Pitt, Jon Bernthal, bahkan Michael Peña meng-handle peran-peran mereka selama ini, namun transformasi Shia LaBeouf ke peran-peran serius jarang-jarang bisa sebaik ini. Menempatkan Logan Lerman sebagai rookie player di tengah-tengah mereka pun bisa bekerja dengan cukup baik mengisi sentral plot mentor to protege-nya bersama Pitt.

FUR2

           Sayangnya, endingnya, generically, lagi-lagi sangat Ayer. Seakan memilih cara termudah untuk menyematkan konklusi patriotisnya, sama seperti idealisme karakter polisi di rata-rata filmnya, kita sudah bisa menebak apa yang akan terjadi dari detik pertama klimaks itu digelar. Bagi sebagian orang, ini memang menyelamatkan ‘Fury’ dari rasa-rasa sangat pop dalam sebuah blockbuster Hollywood, hanya saja mungkin mereka lupa, in nowadays trend, ini juga mulai bergulir jadi satu penyelesaian generik dari film-film yang mau terlihat lebih berkelas, namun tak terlalu didasari pengantar yang baik selain hanya sebuah cara mudah untuk menarik garis akhir sebagai ending film.

FUR3

           However, ‘Fury’ jelas sama sekali bukan film perang yang gagal. With its harder effort in WW2 tank war subgenre, ia sudah jauh lebih dari apapun kekurangan yang ada di dalamnya. Hanya saja, pertanyaan yang akan timbul lagi-lagi sama. Bagi sebagian orang, akankah ‘Fury’ terasa sebaik ini bila dibesut dengan ending yang berbeda? You decide. (dan)

~ by danieldokter on November 17, 2014.

Leave a comment