BIDADARI TERAKHIR: COMMON FANTASIES AND A DISEASE PORN

BIDADARI TERAKHIR

Sutradara: Awi Suryadi

Produksi: Ganesa Perkasa Film, 2015

bidadariterakhir

            Sama seperti elemen-elemen hamil di luar nikah atau perkosaan, dalam membangun konflik ke sebuah hubungan-hubungan berlatar percintaan baik dalam film ataupun novel, entah karena (katanya) lekat dengan budaya, prostitusi atau karakter-karakter PSK (Pekerja Seks Komersial) adalah sebuah stereotipikal film kita dari dulu hingga sekarang. Oke, walau tak semuanya jelek, menyisakan satu-dua relevansi yang bisa membuat filmnya tetap bagus, kemajuan sinema kita beberapa tahun belakangan mungkin sudah sedikit bisa beranjak dari elemen-elemen stereotip ini, tapi ada satu lagi alternatif lain yang tak kalah sering muncul di benak para penulis dengan tendensi-tendensi dangkal. Something called melodramatic disease porn; yang merujuk pada penggunaan berbagai macam penyakit buat memancing empati; no, lebih tepatnya, kesedihan pemirsanya ke sebuah gelaran tragedi dalam dramatisasi filmis. Lagi-lagi, resep-resep baku dalam jualan, memang tak juga bisa begitu saja disalahkan.

            Now here’s another thing. Sematan kepentingan adaptasi novel dengan embel-embel ‘berdasarkan kisah nyata’ yang memang tipikal juga buat demand penonton kita, mencatat satu nama yang karyanya cukup sering dijadikan source buat adaptasi film layar lebar. ‘Bidadari Terakhir’ diangkat dari novel karya Agnes Davonar yang memang agak salah kaprah memilih penyakit ‘kotor’ yang ingin ditampilkannya entah atas dasar apa, entah tulisan-tulisan yang secara spiritual berbau relijius dan seringkali mengarah pada persepsi-persepsi kutukan atau apalah. The truth is, ada banyak aspek yang harus lebih dahulu di-riset oleh seorang penulis sebelum seenaknya menampilkan hal-hal berbau keahlian, walaupun lagi-lagi, menjual kisah nyata, while just googling won’t make you a doctor even in years, terlebih dalam pemaparan soal-soal keahlian tadi.

            Oh ya, penyakit sifilis yang ditampilkan di source aslinya sebagai ‘penyakit akibat masa lalu’ karakter si PSK, walaupun memang ada jadi salah satu kalangan dengan resiko terbesarnya, memang bagaimanapun tak akan bisa bekerja, mostly in doing justice to the other main character in a love story. Apalagi ini bukan era ’70-‘80an dimana pola penyebarannya sudah sangat jauh berbeda dengan intervensi multiaspek lain termasuk pengetahuan masyarakat yang sudah sangat berkembang. Untunglah sutradara Awi Suryadi dan Priesnanda Dwisatria, penulisnya (juga menulis ‘Lily: Bunga Terakhirku’ yang beredar berdekatan dengan tema dan judul mirip; disini bersama Fauzan Adisuko dan Agnes Davonar sendiri), yang di pre-produksinya meminta sedikit saran atas pemilihan penyakit itu, akhirnya urung mengikuti mentah-mentah kesalahan source-nya, dan tak juga serta-merta mengadopsi lebih dari separuh set ceritanya buat jadi sebuah disease porn yang berlokasi di rumahsakit. At least, pemerhati industri sinema kita pasti tahu Awi cukup punya kredibilitas di sejumlah deretan filmografinya, untuk tak menyerah ke kepentingan dagang yang melulu serba dangkal. Setting Balikpapan sebagai pengenalan daerah yang kental, walaupun sempat memicu protes dari beberapa pihak terkait, juga punya efek sambutan yang baik di daerahnya.

              Menyimpan harapan besar ayahnya, Tama (Ikang Fawzi), Rasya (Maxime Boutier) adalah seorang pelajar yang cerdas dan berprestasi di sekolah. Bahkan Maria (Stella Cornelia), teman sekolah yang menaruh perhatian spesial padanya nyaris tak pernah ditanggapi Rasya. Sayang ia tak bisa menolak ajakan Hendra (Julian Jacobs), sahabat yang kemudian menyeret Rasya ke sebuah lokalisasi bernama Paradiso untuk merayakan ulang tahunnya. Meski tak ikut berbuat nakal, ketertarikannya pada pandangan pertama terhadap Eva (Whulandary Herman), salah seorang PSK disana lama kelamaan mulai mengalahkan sekolah menjadi prioritas utama bagi Rasya, apalagi ketika ia mengetahui masalah pribadi yang membuat Eva terjebak dalam profesi itu.

               Tak ada yang spesial memang dari plot itu, apalagi dengan predictable aftermath berisi sempalan disease porn tadi ke tengah-tengah perempat akhirnya. Selain klise setengah mati, inevitable and both coming out of nowhere, konklusinya pun dipaksakan buat bisa mengarah ke penekanan insightful soal pencarian kedewasaan seorang remaja. Begitupun, untungnya, Awi bersama penulis skripnya lebih menggerakkan fokus penceritaan mereka ke proses-proses awal dengan setup-setup lebih meyakinkan buat membangun romantisasi hubungan kedua tokoh utamanya. There’s a lot of naughtiness, memang, tapi secara mendasar juga harus diakui punya relevansi yang pas serta kedekatan dengan pemirsa seumuran karakternya dibalik fantasi-fantasi tipikal remaja dalam proses pendewasaan seksual mereka.

               Necessary naughtiness alaPrivate Lessons’ dan film-film nakal sejenisnya ini, yang tak luput menampilkan sisi nakal pelajaran biologi hingga sempat-sempatnya menyemat pola jembatan keledai dalam hafalan sekolah, biarpun menyisakan rasa awkward, untungnya lagi tak harus dibarengi dengan interaksi-interaksi yang lantas jadi sepenuhnya salah dalam anggapan sosial. Ini paling tidak berhasil memberi dinamika dalam proses serta bangunan chemistry Rasya dan Eva yang diperankan dengan baik oleh Maxime Bouttier, mostly Whulandary Herman, Puteri Indonesia 2013 dalam debut akting serta layar lebarnya. Gestur, ekspresi dan intonasi Whulandary memerankan Eva dengan profesi dan ketertarikannya terhadap Rasya benar-benar muncul dengan sangat baik di paruh pertama, lovely sekaligus seducing luarbiasa.

              Successfully giving empathies terhadap karakter utamanya, satu yang memang paling dibutuhkan sebagai syarat dalam tema-tema star-crossed lovers, sementara side characters seperti Julian Jacobs, Meirayni Fauziah, Stella Cornelia dan Ikang Fawzi juga secara proporsional tampil cukup baik, ‘Bidadari Terakhir’ juga punya penggarapan teknis yang baik untuk membuatnya kelihatan lebih elegan seperti desain painted poster dengan atmosfer vintage-nya yang berani dari Andira Pramanta dan Dika Toolkit. Tata kamera Memet Nakesh terasa efektif menghadirkan gambar-gambar indah serta kadang terasa dreamy dibalik pengenalan wilayah Balikpapan dan landmarks-nya, sementara scoring dari Ricky Lionardi dan theme song dari Endah N Rhesa juga membentuk blend yang bagus ke keseluruhannya.

             Sayangnya, paruh kedua kala ‘Bidadari Terakhir’ mulai menyemat konflik-konflik klise itu, pemaparannya tak lagi bisa sekuat bagian-bagian awal tadi. Salah satu faktor penting di segmen ini, yang diperankan oleh Ayu Diah Pasha, malah membuat kewajaran storytelling dan karakterisasinya terganggu. Bukan Ayu tak terlihat berusaha berakting bagus, namun bentukan karakter, looks dan sematan penyakit-penyakit sampingannya benar-benar kelewat dipaksa, not believable, untuk bisa membentuk blend yang baik terhadap konfliknya. Step-step dibalik intensitas konflik utamanya pun sama, lebih terasa ridiculous ketimbang convincing, tanpa lagi bisa membaik menuju pengujungnya. Apalagi sempalan sex scene yang walau bukan tak dibalut Awi dengan stylish tapi terkesan judgmental, serasa tak percaya diri dengan pendekatannya serta membuat karakternya jadi terasa one-dimentional.

               So, begitulah. Walau tak sempurna, paling tidak, usaha Awi membesut adaptasi dari source yang banyak dari kita tahu sulit untuk bisa kemana-mana dengan inevitably cliche turns, memang patut dihargai lebih. Ini memang membuat ‘Bidadari Terakhir’ terlihat sedikit berbeda dibalik stereotip-stereotip biasa di atas tema-tema sejenis, dan jangan lupa, ada debutante performance yang bagus dari Whulandary, sementara Maxime juga sedikit naik kelas dari peran-perannya yang biasa. Tak spesial, tapi bolehlah. (dan)

~ by danieldokter on September 14, 2015.

Leave a comment