BATMAN V SUPERMAN: DAWN OF JUSTICE; A MESSY SET UP WITH SPECTACULAR PAYOFF

BATMAN V SUPERMAN: DAWN OF JUSTICE

Sutradara: Zack Snyder

Produksi: DC Entertainment, RatPac Entertainment, Cruel and Unusual Films, Atlas Entertainment, Warner Bros, 2016

Batman v Superman

            Sebagai dua superhero paling populer, kemunculan Batman dan Superman dalam satu film layar lebar mungkin sudah jadi mimpi semua penggemarnya. Itu yang membuat mengapa antusiasme ke instalmen DC ini, meski tetap dibayang-bayangi kesuksesan saingan mereka, Marvel, jadi begitu besar. Apalagi, dengan konsep yang memang masih agak berantakan, lagi-lagi tak seperti Marvel dan masih terus terjebak jadi meme di banyak sosmed dan perang antar fans, ‘BvS’ dicanangkan untuk menjadi fondasi kolaborasi tokoh-tokoh superhero DC dalam ‘Justice League’nanti.

            Then again, ini memang kelemahan terbesar DC dengan semua instalmen-instalmennya. Mencoba menarik garis batas beda dari Marvel dengan dark tone, anti-fun dan grittyness sejauh mana mereka bisa sambil terus tak beranjak dari pola Christopher Nolan walaupun tak lagi berada di universe yang sama, eksekutif-eksekutif mereka seakan tak punya visi jelas di tangan Zack Snyder. To be precise, lifelong dream sekelas perseteruan Batman Vs Superman jelas layak diletakkan di tengah-tengah hype terbesar summer atau paling tidak, year-end. Menggesernya ke Maret justru menunjukkan kelemahan dan ketidakpercayaan diri mereka sendiri.

           Di luar itu, fanboys-nya memang sangat militan, jauh dibandingkan Marvel. Ini juga membuat perang sosmed jadi semakin nakal mengolok-olok mereka. Belum lagi putusan-putusan kontroversial cast-nya. Selagi Marvel selalu meletakkan orang-orang yang tepat dengan persentase protes minimal bahkan menggamit A-list senior stars ke dalam franchise mereka, DC terlalu suka kukuh mempertahankan keanehan visi mereka. Mau fanboy dan segelintir penonton lain luarbiasa melawan untuk tetap memberikan dukungan, digempur terus dengan meme dan mocking sana-sini, benar memang dua trailer terakhirnya harus diakui punya sisi cukup menjanjikan. Respon penonton pada gala premiere yang diadakan cukup besar-besaran, luarbiasa. Begitu pula rekor pre-sale tiketnya. Tapi begitu embargo kritik dilepas, lagi-lagi suara negatif lebih mendominasi. Pantas tidaknya dituduh sebagai konspirasi, apa boleh buat. Tapi agaknya opini di antara fanboy-nya sendiri mulai terpecah. Let’s see, then.

            Atas kekacauan yang diakibatkan Superman (Henry Cavill) dalam pertarungan finalnya melawan Zod (Michael Shannon) di ‘Man of Steel’, eksistensinya sebagai pahlawan mulai diragukan oleh banyak orang termasuk pemerintah. Satu korban yang kehilangan banyak pekerjanya, Bruce Wayne/Batman (Ben Affleck) juga terpaksa mengobarkan perseteruan dengannya, sambil menyelidiki sebuah kasus perdagangan senjata dengan korporasi jahat milik Lex Luthor (Jesse Eisenberg) yang justru ingin mengambil keuntungan dengan mengadu domba keduanya. Sementara Lois Lane (Amy Adams), Martha Kent (Diane Lane) dan seorang wanita misterius Diana Prince (Gal Gadot) yang menyimpan kunci terhadap kekuatan super lain ikut terjebak di tengah-tengah perseteruan itu, Luthor sudah menyiapkan senjata pamungkas untuk melumpuhkan dua jagoan ini.

Batman v Superman 2

            Oh yeah, kita semua sudah tahu ini sejak awal. Bahwa setelah urung melanjutkan petualangan Superman dalam ‘Man of Steel 2‘ seperti yang awalnya direncanakan, ‘BvS: Dawn of Justice’ memang dibangun atas fondasi kesalahan yang awalnya tak disadari oleh Zack Snyder dalam ‘Man of Steel’; collateral damage dalam final battle yang menuai banyak protes. Menolak mengakui kesalahan yang sudah terang-terang disindir Marvel dalam ‘The Avengers: Age of Ultron’ kemarin, ia membangun plot-nya lewat skrip yang dibesut David S. Goyer dari instalmen-instalmen DC Christopher Nolan, superhero afficionado yang sayangnya suka sok asyik di banyak karyanya, dan Chris Terrio, partner Affleck di sejumlah filmnya.

            Bukan sepenuhnya gagal, intrik-intrik penyatuan universe yang mereka namakan DCEU (DC Extended Universe) untuk menyaingi MCU (Marvel Cinematic Universe) itu memang punya relevansi, twist serta karakter tambahan yang menarik; dari senator AS yang diperankan oleh –  once an Academy Award winner (dalam ‘Broadcast News’) – Holly Hunter, karakter Alfred yang jauh lebih seksi dan hi-tech geek tak seperti biasanya oleh Jeremy Irons, sempalan-sempalan seperti Scott McNairy, Jeffrey Dean Morgan hingga supportingMan of Steel’ yang kembali; Laurence Fishburne, Kevin Costner, Diane Lane dan Michael Shannon, termasuk hal tersulit menggabungkan Metropolis dan Gotham yang sama-sama representasi New York. Apa yang mereka lakukan atas penggabungan itu, jika mau sedikit lebih jeli, bagus.

             Sayangnya, intrik serta konflik itu berjalan terlalu lamban, berbelit tanpa struktur penceritaan yang baik, kadang melompat ke sana ke mari mem-blur-kan koherensi jahitan penceritaanya, tanpa pula diselingi action spektakuler menuju hampir dua jam durasinya. Ada sempalan action-action kecil di dua jam awal durasinya memang, tapi tak satu pun yang bisa menyelamatkan kekacauan skrip dan chemistry penceritaan Terrio (in  intrigues) dan Goyer (seperti biasa untuk menahannya berada di pakem adaptasi komik, oh maaf, maksudnya novel grafis superhero). Selagi fondasi utama kemarahan Batman terhadap Superman sudah muncul dengan sangat relevan dari ngeles-ngeles soal collateral damage itu, Terrio dan Goyer memang masih punya tugas ekstra memasukkan karakter-karakter tambahan tadi sebagai katalis untuk mendorong kemunculan Lex Luthor sebagai villanous mastermind yang maunya (lagi-lagi menggamit pola sulit move on) seperti Heath Ledgers Joker di ‘The Dark Knight’.

            Tapi di sinilah hasilnya mungkin lebih kacau dan draggy ketimbang twisting, termasuk juga pace editing-nya yang lebih kacau-balau. Take a few turns a bit too far-stretched, begitu banyak twist yang ingin mereka masukkan plus mencoba membuat ‘BvS’ jadi fondasi kuat penggabungan karakter-karakter superhero DC lain (listed in the cast by Jason Momoa, Ezra Miller & Ray Fisher) yang sudah ditunggu dalam ‘Justice League’ di atas kreasi baru yang mereka namakan DCEU tadi. Tapi seperti tak memberikan keadilan bagi hint-hint kecil soal mereka dengan balutan twist yang malah diinisiasi oleh salah satu karakter terlemah yang ada di sini. Belum lagi Eisenberg, berakting di atas template Joker yang dipaksakan tadi sebagai Luthor, tak bisa menyemat batas tepat di antara psikopat atau kejeniusannya sebagai mastermind, jatuh kelewat annoying ketimbang villain yang seimbang dan convincing buat para jagoannya, bahkan ketika villain pamungkas yang disiapkan (sebagian dari kita sudah melihat dari trailer-nya) untuk menyempalkan bagian lain lagi untuk twist finalnya.

           Soal Affleck sendiri, walaupun gesturnya meyakinkan dengan adanya keindahan koreografi yang gagal ditampilkan Nolan di dua instalmen awal versinya, juga cukup baik menjadi Bruce Wayne yang dikembangkan di atas motivasi-reaksi ala James Bond, tampilan kostum Batman baru yang mengambil referensi gaya minimalis dari novel grafis ‘The Dark Knight Returns’ terutama batmask yang tak sesuai dengan bentuk rahang Affleck lebih terlihat agak menggelikan. Lebih parah dari batmask dalam ‘The Dark Knight’ yang terlihat kesempitan di wajah Christian Bale, fitting rate-nya sedikit lebih baik di balik armored suit, namun lagi-lagi sulit sekali memang menepis ini sebagai ripoff dari ‘Iron Man’ seperti yang banyak dituduhkan banyak orang. Nanti dulu juga soal keputusan Snyder mengubah template superheroic-nya lebih ke sebuah killing machine tanpa ampun bunuh sana bunuh sini demi menonjolkan sisi realisme-nya. Tanpa terhindarkan, ini bisa jadi sangat kontroversial.

           Part yang lebih baik dengan benang merah yang jelas justru ada pada karakter Superman-nya Henry Cavill. Oke, Clark Kent Cavill sama sekali tak memorable – bahkan dengan sempalan bathtub scene dengan Lois Lane yang lebih berupa gimmick tak diperlukan, namun menuju pengujung yang bisa jadi mengejutkan banyak orang yang belum pernah tahu betul development komiknya, walau Snyder dan Terrio lebih asyik mengeksplorasi karakter Batman, pengembangan karakternya sebagai Superman baru yang masih terus bermetamorfosis di DCEU muncul sangat menarik di balik ide-ide gods and monsters yang meski mungkin tetap tak fokus, tapi bisa dirasakan oleh true fan karakter yang mau menerima effort-effort perubahan karakterisasinya di DCEU.

            Namun untunglah, 30 menit final showdown-nya menjadi pamungkas yang begitu menggetarkan dimulai dari pertarungan seru Batman dan Superman. Walau hanya kurang lebih berdurasi 10 menit tanpa jalinan motivasi yang rapi dan konklusi yang, oh well, meski ada sisi pintar mengulik hal yang wajib diketahui fans dua tokoh superhero ini – jatuh lebih seperti melodrama India ’70-an diikuti action scene dengan rangkaian dialog yang – lagi-lagi, walau bisa membuat kita tertawa – sebenarnya sangat ridiculous dan dipaksakan, muncul sangat seru dibalut dengan kemampuan Zack Snyder sebagai seorang visual artist terbaik Hollywood, dengan kolaborasinya bersama DoP Larry Fong. Masih ada juga scoring majestis Hans Zimmer (bersama Junkie XL) meski sayang kekuatan utamanya di main theme baru Superman dalam ‘Man of Steel‘ hanya muncul sekilas-sekilas saja sebagai penggalan di sini. Terasa bagus saat menyaksikan filmnya, namun kala lepas dari sana, sebenarnya tak juga sekuat itu.

            Berikutnya, tetap di atas rangkaian penutup dengan boom bang visual spektakuler itu, jelas adalah kemunculan Wonder Woman di tangan Gal Gadot yang juga sudah lama dinantikan sebagai salah satu excitement terbaiknya. Atas reaksi banyak orang, hashtag official-nya, #WhoWillWin – agaknya lebih pantas diberikan pada Gadot. And despite of what some of you may think, kemunculan salah satu musuh legendaris Superman dalam titik balik sejarah source komiknya, adalah lagi salah satu keadilan yang disemat Snyder ke dalam ‘BvS’. Di luar tampilannya, gambaran proses lainnya memang cukup jauh dari yang ada di komiknya, tapi punya relevansi ke ending yang mereka pilih sebagai set up ke kelangsungan DCEU nantinya, dan memang seru.

            Seakan jadi sebuah ultimate payoff yang membayar semua kekurangannya dengan impas, ini adalah penyelamat buat semua lubang yang memenuhi keseluruhan hasilnya. Apalagi, montage-montage penutupnya yang hadir dengan transisi di atas feel yang walau tak pernah sebaik namun sangat mirip dengan ‘The Dark Knight Rises’, termasuk memuat hint ke pengembangan DCEU dan ‘Justice League’, bisa tampil sangat meyakinkan. A messy set up with spectacular finale which pays off, namun paling tidak, tetap membuat kita penasaran menunggu kelangsungan DCEU dengan ‘Suicide Squad’, ‘Wonder Woman’ dan kalau jadi, instalmen soloBatman’-nya Ben Affleck. Lagi-lagi, box office-lah yang akan bicara walau rasanya sulit memang menahan efek negative reviews sekaligus bisa menandingi pertarungan superhero Marvel yang sudah jauh lebih established dalam ‘Civil War’ yang akan hadir di pengujung April nanti. (dan)

~ by danieldokter on March 24, 2016.

3 Responses to “BATMAN V SUPERMAN: DAWN OF JUSTICE; A MESSY SET UP WITH SPECTACULAR PAYOFF”

  1. Saya setuju dengan review mas. Saya tidak bisa menikmati DCEU layaknya MCU. Seharusnya mereka bisa sedikit nyempalin humor daripada scene2 gak penting kayak The Flash muncul tiba-tiba ngasih peringatan ttg event “INJUSTICE” dan ramalan Batman di masa depan.

    Yg kepikiran terus ini adalah si pemeran The Flash yg masih aja gondrong. Kayak anak alay. Ga keliatan sisi nerd dan jenius kayak di versi serial tv.

  2. sok pinter lu min.. lu ga liat itu film mecahin box office dimana2? gw heran kok banyak haters sama film2 DC. ulasan lu juga subjetif banget. Gw sendiri sebagai fans DC dan MARVEL malah sangat menikmati keduanya. ngapain di ribut2 in, selagi bisa menikmati keduanya dengan cuma bayar 60 ribu.

  3. ^ Atas..

    Apa hubungannya mecahin rekor dimana-mana ama kualitas filmnya? Hihihi.. #justsaying

Leave a comment