NIGHT AT THE MUSEUM: SECRET OF THE TOMB : A THOUGHTFUL WAY TO KEEP THE FRANCHISE ALIVE

NIGHT AT THE MUSEUM: SECRET OF THE TOMB 

Sutradara : Shawn Levy

Produksi : 21 Laps Entertainment, 1492 Pictures, 20th Century Fox, 2014

NATMSOTT

            Bagi sebagian orang, sekuel adalah perlakuan aji mumpung, terlebih dari film-film yang dimiliki oleh studio besar dengan nama-nama raksasa di belakangnya. Unnecesarry ini itu. Bagi sebagian orang, satu hiburan besar, in the name of blockbusters, buat mengisi masa-masa liburan pula, belum cukup untuk tak terus dilanjutkan, dan box office-lah yang menentukan umurnya. But here’s what so important, lebih dari pertentangan kedua alasan itu. Bahwa terkadang, sequel, threequel dan lebih lagi, adalah effort-effort talenta yang ada di dalamnya untuk terus membuat mereka merasa terus hidup dan berkumpul bersama orang-orang terdekatnya di profesi yang mereka sukai. An attempt to relive memories and its magic, dan kalau jualan adalah sampingannya, masih laku pula, mengapa tidak?

            ‘Night at the Museum’, like it or not, memang punya kualitas itu. Datang dari ide Chris Columbus dan Shawn Levy bersama Michael Barnathan dari instalmen-instalmen ‘Harry Potter’ awal berdasar buku anak berjudul sama karya Milan Trenc, dekade awal 2000-an memang tak terlalu banyak punya family franchise yang memorable. Konsepnya pun sangat segar, lengkap dengan style Columbus dalam menebar heart factor ke tengah-tengah film keluarga yang ramai. Sementara Shawn Levy, segila apapun, tetap punya hati. Memasang Ben Stiller sebagai centre dari universe karakter-karakter historis penghuni museum, satu dari kultur konvensional negaranya yang masih dipertahankan dan berpindah dari generasi ke generasi, mereka jadi leluasa membongkar-pasang ensemble cast yang rata-rata memang adalah komedian atau aktor terkenal ke dalamnya.

            Sekuelnya, tiga tahun setelah instalmen pertamanya, ‘Battle of the Smithsonian’ (2009), masih bekerja sangat baik dengan konsep itu. Namun masalahnya sekarang, rentang waktu lebih lagi, sekitar 5 tahun untuk kembali menghadirkan ensemble utamanya diantara sederet companion baru, tentu harus berhadapan dengan pertanyaan-pertanyaan necessary tadi. Tapi Columbus, yang tetap didampingi Shawn Levy, agaknya memang punya konsep bagus ketimbang apa yang kita lihat sekilas tak lebih dari usaha-usaha menyabung nyawa franchise dengan memindahkan set-nya. Kembali ke slot liburan akhir tahun, ‘Secret of the Tomb’ mungkin hanya jadi pelengkap franchise itu sesuai tagline-nya, ‘One Final Night to Save the Day’, tapi dibalik itu, walau lagi-lagi mungkin box office adalah jawabannya, mereka sudah merancang sesuatu yang akan kita sadari jadi bagian penting dari penutupnya. Then again, oh yeah, ini adalah Hollywood dengan segala cara eksekutif studionya untuk tak begitu saja membawa franchise andalan mereka masuk gudang terlalu cepat menunggu kemungkinan remake.

            Setelah sebuah flashback tentang tim arkeologis yang menggali kuburan kuno di Mesir tahun 1938 demi mencari sebuah artefak penting, kita kembali dibawa ke Museum of National History, New York, dimana Larry Daley (Ben Stiller), masih berkutat dengan pekerjaannya sebagai kepala sekuriti bersama rekan-rekannya para penghuni museum yang bisa mendadak hidup saat matahari tenggelam; daintaranya Theodore Roosevelt (Robin Williams), Attila the Hun (Patrick Gallagher), Sacagawea (Mizuo Peck), Akhmenrah (Rami Malek), Dexter the Capuchin Monkey (Crystal the Monkey) dan duo mantan seteru, koboi Jedediah (Owen Wilson) dan kaisar romawi Octavius (Steve Coogan). Artefak itu, Tablet Akhmenrah, ternyata menyimpan sebuah misteri yang tak pernah mereka bayangkan dari ramalan masa lalu tentang kehancuran. Sempat diperingatkan oleh Akhmenrah, Larry yang tengah punya masalah dengan penentuan masa depan putranya (Skyler Gisondo) kemudian menyelidiki misteri ini dari mendatangi tiga rekan senior otak pelaku kejahatan sebelumnya (Dick Van Dyke, Mickey Rooney & Bill Cobbs) hingga ke British Museum of National History melanggar larangan atasannya, Dr. Phee (Ricky Gervais) yang hendak memasuki masa pensiun. Ditemani Nick dan seorang makhluk neanderthal bernama Laa, Larry dan rekan-rekannya pun memulai petualangan baru mereka di London. Bertemu dengan Sir Lancelot (Dan Stevens), Pharaoh Merenkahre (Ben Kingsley) bahkan melawan makhluk-makhluk museum baru dan bertualang di sejumlah peristiwa sejarah yang ada, menuju sebuah keputusan berat dibalik ramalan kuno Tablet Akhmenrah terhadap mereka semua.

            Sekilas, ‘Secret of the Tomb’ memang terlihat seolah melulu hanya diisi oleh pengulangan formula yang sudah-sudah, dimana karakter-karakter yang sudah melekat di benak pemirsa franchise-nya kini dipindah ke set berbeda dengan konflik-konflik serupa. Subplot Larry dan putranya Nick, yang sejak instalmen awal punya sorotan penting untuk setup karakter utamanya pun seakan sambil lewat hanya sekedar tempelan. Namun jangan lupakan satu hal, bahwa selain chemistry karakter-karakter tetapnya yang masih sangat bagus, termasuk Steve Coogan dan Owen Wilson, munculnya kembali Dick Van Dyke dan Bill Cobbs serta penampilan on-screen terakhir Mickey Rooney dan Robin Williams, dalam salah satu last scene dengan kesan farewell begitu menyentuh, ada elemen yang tetap bisa membuat sisi komedinya terus mengeksplorasi sesuatu yang fresh lewat karakter-karakter baru yang mereka sempalkan ke dalam kontinuitas plotnya.

            Ada Dan Stevens, rising british actor dari ‘Downtown Abbey’ yang baru saja kita saksikan lewat ‘A Walk Among the Tombstones’, thriller retro ‘The Guest’ ke banyak lagi deretan filmnya di tahun ini, Ben Kingsley, cameo dari Hugh JackmanAlice Eve dan tentu saja Laa yang menjadi highlight dari instalmen ini. Di-set sebagai distraksi yang memunculkan viral debate terhadap kemunculan uncredited Tom Cruise atas kemiripan fisiknya dengan Stiller yang berkembang dari slot joke interview MTV Movie Awards M:I-2 (‘Mission Impossible 2’) dulu  dan berlanjut ke adegan lari-larian Stiller di franchise-nya yang sepenuhnya meniru mimik dan gestur Cruise dalam M:I, ini belum sepenuhnya terjawab hingga sekarang. Lewat serangkaian interview-nya, like a top secret, mereka tetap mencoba meyakinkan bahwa Laa diperankan oleh Ben Stiller yang di-makeup sedemikian rupa dengan atau tanpa menyadari kemiripannya dengan Cruise, sementara masih tak sedikit yang yakin bahwa yang mereka lihat dibalik makeup itu adalah Tom Cruise. Terakhir, ada Rebel Wilson sebagai Tilly, sekuriti British Museum nyeleneh dan personifikasi karakter Stiller di London, sangat Rebel, yang terasa sekali bakal diserahi tongkat estafet bila nanti franchise ini akan berlanjut ke depannya.

            Elemen-elemen jagoan lainnya berupa tribute to ‘80s pop culture sebagai pengiring solid-nya juga tetap muncul. Bersama ‘Boogie Wonderland’ dari Earth, Wind & Fire dan theme song peraih Oscar(I’ve Had) The Time of My Life’ dari ‘Dirty Dancing’ di salah satu highlight penutup paling hilarious, scoring yang masih tetap dikomposisi Alan Silvestri juga sama baiknya. Sinematografi dari Oscar winning DoP Guillermo Navaro yang kerap bekerjasama dengan Guillermo del Toro itu pun masih tetap jadi unsur penting dalam men-tackle indoor set-nya menjadi begitu hidup seperti tema sentral ‘museum characters come alive’-nya, bersama efek visual kelas satu dari Gentle Giant dan Digital Domain.

            Namun lebih diatas semuanya, melebihi kapasitas skrip David Guion dan Michael Handelman di bagian-bagian awal guliran plot-nya, adalah sebuah konklusi menyentuh yang mereka sematkan di bagian pengujungnya. Bukan saja punya sentuhan jauh lebih kuat dari instalmen-instalmen sebelumnya dalam mengingatkan kekuatan tradisi kunjungan ke museum historis bagi generasi sekarang, unsur heartfelt yang digarap dengan taktis, tetap dalam wilayah khas film-film komedi Shawn Levy atau Chris Columbus, benar-benar bisa menyeruak mengubah tone-nya dengan seketika. Mereka masih terus menggempur komedi hilarious ke tengah-tengah adegan penutupnya, namun kali ini dilengkapi dengan rasa, bahkan airmata. Keberanian melangkah ke apa yang jarang-jarang kita dapatkan dalam genre sejenis, sekaligus demi kelangsungannya nanti, this ends on a high note. What a thoughtful way to pass the baton of the franchise.

            So, silahkan bilang apa saja soal keputusan mereka meneruskan ‘Night at the Museum’. Tapi ini jelas bukan threequel yang gagal, malah dalam beberapa sisi bisa melebihi pencapaian-pencapaian berbeda dari instalmen yang ada sebelumnya. Seperti sepenggal kata penghargaan terhadap dua sineas legendaris yang muncul di tengah kredit akhirnya, ‘Remembering Mickey Rooney, and for Robin Williams… The Magic Never Ends’, so be it. Let’s not let them end. (dan)

~ by danieldokter on December 29, 2014.

2 Responses to “NIGHT AT THE MUSEUM: SECRET OF THE TOMB : A THOUGHTFUL WAY TO KEEP THE FRANCHISE ALIVE”

  1. […] NIGHT AT THE MUSEUM: SECRET OF THE TOMB (2014, USA, Shawn Levy) […]

  2. […] NIGHT AT THE MUSEUM: SECRET OF THE TOMB (2014, USA, Shawn Levy) […]

Leave a comment