SOEGIJA : A PARABLE BIOPIC THAT MISSED ITS MARK

SOEGIJA

Sutradara : Garin Nugroho

Produksi : Studio Audio Visual Puskat Yogyakarta/Puskat Pictures, 2012

Kecuali Anda adalah peneliti sejarah atau aktifis agama, murid seminari atau sekedar punya referensi bacaan luas tentang sejarah perjuangan kemerdekaan, kita semua mungkin tak pernah tahu peranan gereja Katolik dalam goresan sejarah itu. Atau nama Mgr. Albertus Soegijapranata, SJ (1896-1963) sebagai Uskup Agung pribumi Indonesia pertama di Semarang, yang juga sudah dikukuhkan sebagai Pahlawan Nasional RI. Beliau juga dikenal sebagai salah satu pejuang ‘silent diplomacy’ ke semua pihak dari penjajah, pemimpin bangsa, serta negara-negara luar. Sosok yang berjuang tanpa mengangkat senjata, tapi tak kalah penting peranannya dalam sejarah kemerdekaan kita.

Tak heran, di tengah banyaknya pandangan primitif bangsa ini, kita yang selama ini sudah terus menerus dikenalkan dengan perjuangan kemerdekaan dari sisi Islami sebagai agama mayoritas disini, kabar pembuatan biopik ‘Soegija’ oleh seorang Garin Nugroho sudah mengundang sejumlah kontroversi. Tak hanya dari tuduhan usaha-usaha Kristenisasi dan penyebaran agama Katolik, Garin dan pemeran Soegija, Nirwan Dewanto, yang aslinya bukan Katolik juga dianggap tak pantas. Tapi mari membuka mata. Bukan baru sekali aktor-aktris kita memerankan karakter lintas reliji, dan dalam pesan pluralisme yang sesungguhnya jadi bagian yang sama dalam membangun sejarah bangsa ini, itu sama sekali bukan kesalahan. Dan buzz promosinya yang dipandang sinis oleh sebagian orang karena menjadi tontonan kolektif warga gereja dan sekolah-sekolah Katolik, itu bukan hal aneh. Beberapa film reliji Islami yang mengundang pesantren, rumah yatimpiatu dan komunitas lainnya pun pernah melakukan hal yang sama. Apapun alasannya, siapapun penontonnya, mengumpulkan lebih dari 60 ribu penonton untuk datang  memenuhi bioskop pada hari pemutaran perdananya sungguh layak untuk dibanggakan di tengah perolehan box office kita yang sedang kembang-kempis dan serbuan promosi murahan KK Dheeraj lewat penipuan publiknya di ‘Mr. Bean Kesurupan DePe’. Ini adalah film sejarah yang informatif dan membuka mata kita, sama sekali bukan film dengan konten penyebaran agama. Dan kita semua perlu tahu itu.

Sesuai latar dan informasi sangat berharga yang ingin disampaikan Garin, ia tak memilih biopik ini untuk lantas jadi selinear biopik-biopik lain dalam sejarah perfilman kita. Tergolong sangat jarang, Garin memilih untuk tak menampilkan karakter Soegija dari lahir, besar, berjuang hingga meninggal. Walau ia harus menjelaskan panjang lebar dalam sejumlah press release karena mungkin alasannya penonton kita belum terbiasa menyerap narasi seperti ini, Seogija hanya ditampilkannya sebagai pengamat, dari seabrek karakter yang ditampilkannya disini.

In Christianity terms, seolah bab-bab dalam perjanjian baru yang menjadi ‘Parables of Jesus’ melalui murid-muridnya, this is something like that. Parables, yang maksudnya cerita-cerita dengan kandungan moral melalui karakter-karakter sampingan untuk menyampaikan pesan karakter utamanya, yang diblend menjadi satu dalam latar yang sama. Menarik sekali sebenarnya. Apalagi, dari banyak anggapan, Garin yang sudah sedikit demi sedikit merubah gaya narasinya dalam ‘Mata Tertutup’, tak lagi bergaya arthouse yang susah dicerna, ‘Soegija’ muncul sebagai kompromisme sinema Garin untuk bisa dijangkau lebih banyak lapisan penonton. Lebih dari itu, usahanya membawa sisi lain dalam menuturkan sejarah kemerdekaan berikut informasi-informasi penting di dalamnya, walau dia bukan penganut Katolik, sangat patut untuk dihargai.

Lewat kisah-kisah kemanusiaan yang terentang dari masa sebelum kemerdekaan, dari penjajahan Belanda yang berganti ke kolonialisme Jepang, lantas ke usaha-usaha agresi sebelum kemerdekaan itu mulai diakui bangsa-bangsa lain, karakter-karakter antar etnis dan reliji seperti Mariyem (Annisa Hertami), seorang perawat yang ditinggal suaminya, Maryono (Muhammad Abbe) untuk berperang, Hendrick Van Maurick (Wouter Braaf), jurnalis Belanda yang meliput berita dan bersimpati terhadap Indonesia sekaligus Mariyem, Robert (Wouter Zweers), prajurit Belanda gila perang, Nobuzuki (Nobuyuki Suzuki), pimpinan tentara Jepang, Lantip (Rukman Rosadi), pimpinan pejuang pemuda, gadis kecil Lingling (Andrea Reva) terpisah dari ibunya (Olga Lydia) serta Banteng, gerilyawan terbelakang (Andriano Fidelis) yang kemana-kemana menenteng pistol tanpa tujuan jelas, membawa benang merahnya ke spirit tokoh Uskup Agung Soegija (Nirwan Dewanto)  dalam melakukan perjuangan ‘silent diplomacy’-nya. Bersama Koster setianya, Toegimin (Butet Kartaradjasa), Soegija menjalankan misi itu sambil menggunakan gerejanya sebagai tempat penampungan para pengungsi, memberikan makanan bagi mereka yang kelaparan dan merawat korban-korban kekejaman perang di sebuah rumahsakit. Atas nama kemerdekaan, dan diatas semuanya, kemanusiaan.

I should say, kesalahan terbesar dalam ‘Soegija’ adalah skenario yang ditulis Garin bersama penulis senior Armantono yang memang kerap tak konsisten dalam karya-karyanya. Tak ada yang salah dengan pilihan pendekatan Garin untuk menyampaikan spirit dan heroisme Soegija lewat karakter-karakter yang mereka tampilkan, dalam membangun perbedaannya dengan biopik-biopik ber-template seperti biasanya, tapi hanya bila semua ensembel itu bisa menyampaikan semangat perjuangan dan kemanusiaan Soegija seperti yang dimaksud. Salahnya, Garin seperti melangkah terlalu jauh dengan ambisinya berkiprah di film berbiaya sekitar 12 M ini.

Belum lagi, usahanya yang balik-balik lagi tak bisa melepas style khas Garin, padahal ‘Mata Tertutup’ sudah bisa menghilangkan itu, dalam menampilkan ‘awkward eroticism’ yang kerap tergelar hampir di seluruh filmografinya, dimana getar-getar romansa diterjemahkan Garin lewat dialog-dialog yang lebih terkesan ngeres secara langsung ketimbang berpuitisasi berikut shot-shot closeup ke bagian tubuh wanita, serta gaya dalang-nya yang kadang muncul bukan pada feel adegan yang seharusnya, termasuk adegan perang yang jadi terasa surealis dan tak sinkron dengan keseluruhannya. Apa yang lantas tergelar di layar justru jauh lebih berfokus terlalu jauh ke tiap-tiap karakternya sampai nyaris selalu melupakan Soegija sebagai benang merah utamanya. Terlalu banyak bahasa gambar ala Garin yang dipanjang-panjangkan secara tak efektif walau mungkin ia bermaksud untuk menggali lebih dalam batas abu-abu tiap karakternya, baik para pejuang, penjajah maupun korban-korban di tengah-tengahnya.

Akibatnya, setiap sisi adegan Soegija yang harusnya bisa menyambung tiap-tiap parable itu ke sebuah heroisme diplomasi yang menyentuh, jadi lewat begitu saja tanpa rasa. Tanpa mewakili kesinambungannya sebagai penyampai khotbah-khotbah Soegija di tengah latar terburuk dalam sejarah kemanusiaan bangsa kita, tapi terbentur hanya seperti gambaran deskriptif yang tak teramu menjadi racikan yang padu. Sedikit kelewat sesak pula dengan karakter yang dihilangkan pun tak mengapa. Dan ini makin tertutup lagi oleh karakter Koster Toegimin yang diperankan Butet serta Banteng yang menyempalkan sisi komedi benar-benar tak pada tempatnya. Bukan komedi itu tak bisa mengundang tawa atau tak dibawakan dengan baik, secara penonton pun hampir selalu tergelak di adegan-adegannya, termasuk tampilan reporter lucu dan ensembel pemain musik ala ‘Titanic’ yang terus bermain di tengah perang. Andriano Fidelis malah muncul sangat mengundang perhatian, begitu juga Wouter Zweers sebagai Robert dibalik kegilaannya menjadi mesin perang, dan Anissa Hertami yang nyaris mencuri semuanya terlihat sebagai karakter utama, apalagi di adegan yang me-metaforakannya menjadi Maria dalam konteks Christianity di tengah chaos yang berlangsung. Namun ini semua justru menjadi bumerang untuk feel utama yang seharusnya lebih mencuat ke depan sebagai biopik yang mengusung nama Soegija, termasuk di adegan-adegan closeup surat tulisan Soegija yang harusnya bisa jadi bagian terpenting untuk menusuk semua hati penontonnya terhadap sebuah gagasan kemanusiaan.

Begitupun, Garin masih menyisakan kekuatan ‘Soegija’ dari penggarapan selebihnya yang terasa benar-benar matang dan remarkable untuk ukuran film kita. Semua set, detil kostum hingga make-up, production values lain serta kerja penata kamera Teoh Gay Hian berhasil menampilkan keseluruhan sinematografi yang luarbiasa cantiknya. Ada beberapa feel yang tertangkap dengan baik termasuk di gambaran peralihan penjajahan Belanda dan Jepang sekelam film-film sejarah produksi luar berikut sisi-sisi nostalgik perang kemerdekaan yang pasti bakal dipuji penonton berusia lanjut yang pernah merasakannya secara langsung. Skor besutan Djaduk Ferianto yang juga sekaligus duduk di kursi produser, yang kedengaran seperti symphonic orchestra, juga terasa sangat megah bersama lagu-lagu nostalgianya meskipun tetap tak bisa membantu memberikan feel terhadap karakter Soegija-nya sendiri. Di satu sisi, semua itu memang bisa menjelaskan bujet raksasa ‘Soegija’ sebagai film yang sangat ambisius tanpa terlihat percuma, sekaligus mampu menarik rasa bosan dari narasi-narasi tanpa arah tadi.

Dan jangan pernah lupa dengan informasi dan nilai-nilai yang digelar Garin, selain perkenalan ke karakter Soegija yang selama ini luput dari deretan nama pahlawan nasional yang kita kenal, film sejarah kemerdekaan pertama yang mengambil sisi lain secara reliji, log-log sejarahnya, perayaan multikulturalisme, tamparan bagi nasionalisme salah kaprah dan konsep benalu para pemimpin bangsa ini hingga popular knowledge Vatikan sebagai negara Eropa pertama yang mengakui kedaulatan Indonesia, sebagai unsur yang jarang-jarang bisa kita dapatkan dari film kita biasanya. For these, I would be happy to recommend ‘Soegija’ to anybody, sebagai film yang sangat layak untuk ditonton. Namun begitulah. Sejauh manapun keberhasilannya di sisi teknis dan informasi berharga itu, sebagai biopic dengan pendekatan parables yang seharusnya bisa menampilkan keutuhan Soegija sebagai mata dan jiwa para karakter-karakternya untuk menyampaikan spirit dan heroisme dengan benang merah yang seharusnya terkait erat, ‘Soegija’, apa boleh buat, memang gagal menembak sasaran utamanya. Sayang sekali. Sayang sekali. (dan)

~ by danieldokter on June 8, 2012.

8 Responses to “SOEGIJA : A PARABLE BIOPIC THAT MISSED ITS MARK”

  1. wow, luar biasa reviewnya! I meant it.. tepat banget reviewnya soal missed the mark, despite the wonderful achivement from score, props, casts, and any other technically side, Soegija emang kurang mampu ngasih pesan utama film biopik ke masyarakat.

    well done 🙂

  2. ulasan yg bagus. saya juga merasakan masih ada kekurangan dalam menampilkan kisah hidup & perjuangan Romo Soegija. perjuangan diplomatisnya bersama pendiri bangsa pun juga kurang diekspos.

  3. salam kenal! review yang bagus dan detail.

    “Namun ini semua justru menjadi bumerang untuk feel utama yang seharusnya lebih mencuat ke depan sebagai biopik yang mengusung nama Soegija, termasuk di adegan-adegan closeup surat tulisan Soegija yang harusnya bisa jadi bagian terpenting untuk menusuk semua hati penontonnya terhadap sebuah gagasan kemanusiaan.” << nah! sepakat! jadi tenggelam tokoh si soegijanya itu. kerasa pas nonton. terlalu ingin bercerita tentang karakter2 yang lain. jadi kurang merepresentasikan judul filmnya sendiri yang seharusnya bercerita intens tentang si Soegija dan peran dia pada masa itu.

    tapi saya suka cara Garin "berbicara" ke penonton bahwa sebenernya kondisi sekarang dan dulu tidak jauh berbeda. dan sentilan2 lewat pesan2 moral yang walaupun terselip 1-2 jargon klise, hehe. yang saya tangkep, karakter2 di film tersebut merepresentasikan kelas sosial. tokoh Banteng yang cuma bisa melafal "merdeka" dan yang penting perang, misalnya, seakan mewakili rakyat kebanyakan yang cara berpikirnya sederhana. begitu juga representasi masyarakat Tionghoa lewat pertanyaan Lingling tentang apakah karena dia tionghoa makanya keluarganya dijarah dan membuatnya merasa tidak sepenuhnya diterima sebagai bagian dari negeri ini.

    in short, Although for me Soegija is not as good as I thought it would be, I still think people should watch this movie.

  4. Reviewnya bagus…tapi maaf, kalo tidak salah Maryono dalam film merupakan kakak Mariyem, bukan suaminya. tq

  5. iya sih, dari sinopsis resminya begitu. tapi banyak juga yg nangkep pengadeganannya di film itu sepertinya suami bukan kakak, termasuk saya. just IMO 🙂

  6. […] Soegija […]

  7. […] foto-foto: https://danieldokter.wordpress.com/2012/06/08/review-soegija-2012/ […]

  8. buat aku tokoh mama nya ling2 di muculkan punya beberapa indikasi yang muncul, apalagi setelah jepang datang dan di tangkap…. karena sisi kemanusiaan yang di tonjolkan dan persatuan bangsa indonesia yang berbeda suku, di sini memunculkan tokoh, orang tionghoa pun ikut kena dampaknya, tidak hanya masyarakat jawa saja…

    hal ini di perjelas dengan pertanyaan ling2 di pantai bersama soegija…

    apa kami orang cina?

    saya rasa dengan tema kemanusiaan yang muncul di film ini, penempatan keluarga ling-ling merupakan sebuah langkah yang pas, karena di indonesia memang multi etnis, terkhusus di semarang, saat itu. bahkan hingga kini… jadi nilai2 kebersamaan dan 1 nasib untuk tidak saling memusuhi meskipun jawa – tionghoa pun menjadi pesan yang bagi saya tersirat dalam film soegija

Leave a comment