WINTER’S TALE : AN INCOHERENT MESS BEYOND AMBITIOUS CONCEPT

WINTER’S TALE

Sutradara : Akiva Goldsman

Produksi : Village Roadshow Pictures, Weed Road Pictures, Warner Bros, 2014

WT5

            Lagi-lagi, novel dan film, adalah dua medium dengan rentang interpretasi sangat berbeda. Dalam novel, pembacanya mungkin bisa melambungkan fantasi mereka kemana saja untuk menyerap esensinya, no matter how absurd it was, sementara dalam sebuah adaptasi film, pemirsanya sudah diarahkan pada deskripsi  visual yang ada. Sebagian adaptasi bisa menjembatani gap ini, namun di beberapa source berbeda, masalahnya lain lagi. ‘Winter’s Tale’ (not the Shakespeare’s one with ‘The’) menjadi salah satu contohnya. Lihatlah betapa besar profil produknya sebagai film adaptasi.

WT6

          Diangkat dari modern romance fantasy novel tahun 1983 karya Mark Helprin yang disukai banyak orang di negaranya, ini memang merupakan ‘passion project’ bagi seorang Akiva Goldsman. Dengan rentang karir cukup panjang sebagai penulis dan produser diatas filmografi tak main-main, dari blockbuster, genre movies hingga award winning materials, dari Joel Schumachers golden eraBatman’ ke ‘A Beautiful Mind’ (penulis) bahkan ‘Paranormal Activityfranchise (produser),  tak heran kalau A-list crews and actors mau bergabung ke dalam debut penyutradaraannya untuk layar lebar ini, bahkan walau hanya sebagai supporting. Ada Russell Crowe dan Will Smith diantaranya, bersama award winning actor William Hurt hingga legendary actress Eva Marie Saint , also an oscar winner dari ‘On The Waterfront’ dan ‘North By Northwest’ bersama Colin Farrell dan Jennifer Connely. Dan Goldsman memang ada di penggerak utamanya, sebagai penulis, produser sekaligus sutradara. Momen rilisnya bisa jadi sangat pas buat perayaan Valentine’s Day. Masalahnya, konten yang ada dalam ‘Winter’s Tale’, meski pada dasarnya tetap sebuah romance, sungguh bukan sesuatu yang mudah untuk divisualkan. See the plot.

WT2

            Dimulai dari tahun 1886, saat pasangan imigran muda (Matt Bomer – Lucy Griffiths) ditolak masuk ke Manhattan karena wabah TBC, mereka menyeludupkan bayi kecilnya lewat sebuah kapal kecil. Berpindah ke 1916, Peter Lake (Colin Farrell), pencuri yang dibesarkan oleh gembong penjahat Pearly Soames (Russell Crowe) berbalik menjadi lawannya. Dalam pelariannya setelah diselamatkan oleh kuda putih misterius yang lantas mendorongnya melakukan satu lagi pencurian, Peter malah jatuh cinta pada Beverly Penn (Jessica Brown Findlay), putri pemilik rumah, Isaac (William Hurt). Masalahnya, Beverly yang penuh mimpi ini tak punya sisa hidup panjang akibat penyakit TBC yang menyerangnya. Tak lama setelah kehilangan Beverly, Peter masih harus menghadapi kejaran Pearly dan kelompoknya. Cerita kemudian berpindah ke tahun 2014 dimana Peter yang menggelandang di Grand Central Station mencari kepingan masa lalunya bertemu dengan seorang gadis kecil Abby (Ripley Sobo) dengan ibunya, Virginia Gamely (Jennifer Connelly). Lagi-lagi, Peter harus berhadapan dengan Abby yang digerogoti oleh kanker, sementara Pearly masih terus menginginkan nyawanya.

WT4

            So you see. A tale of romance that spans over a century in magical realism ini sungguh bukan plot yang gampang buat dicerna. Dengan elemen-elemen seperti time travel, white unicorn, angels and right, atasan Pearly bernama ‘Lureferring to Lucifer yang diperankan Will Smith, jalinan plot itu memang jadi semakin absurd untuk berjalan bersama dengan konflik-konflik dunia nyata. Inilah tantangan terbesar Akiva Goldsman untuk menuangkannya dalam skrip adaptasi, dan salahnya, tak berjalan dengan mulus. Tak heran kalau banyak resepsi yang membandingkannya dengan ‘Cloud Atlas’ atas beberapa kemiripan konsep ‘everything is connected’ melalui waktu berabad, namun harus diakui, mereka melakukan semuanya jauh lebih baik dari Goldsman.

WT3

            Tak ada yang salah dengan romance with a glimpse of fantasy, dan banyak film yang sudah melakukannya. But, although in fantasy, anything goes, dimana fantasi itu bisa melebar kemana saja, logika dalam bangunan motivasi tiap karakter dan storytelling jelas tetap harus terjaga. Inilah yang jadi permasalahan utama dalam penceritaan Goldsman, dimana ia terlihat terbata-bata menyambungkan tiap benang merah fantasi-fantasi itu ke dalam storytelling yang bisa mengalir lancar. Walaupun kita bisa melihat titik-titik kesusahannya, tetap saja, ia menyisakan terlalu banyak lubang-lubang tanpa penjelasan dengan inkoherensi lumayan kacau, dari tampilan karakter, penjelasan waktu hingga yang terparah, bangunan emosi yang rata-rata gagal untuk bisa tersampaikan. Padahal ini merupakan elemen yang paling diperlukan dalam sebuah romance, dimana tak hanya chemistry erat yang tak juga bisa sepenuhnya tergelar, a magic won’t look like a magic tanpa setup yang kuat.

WT2

            Kelihatan terlalu sibuk bermain di magical realism dengan jalinan lemah penceritaannya, Goldsman jadi benar-benar meninggalkan hal ini di belakang. Setup process untuk membangun chemistry itu cenderung berjalan terlalu instan dan kemudian tertahan terlalu lama untuk menyambungkannya ke benang merah untuk menyusun konklusinya di third act yang terburu-buru termasuk ke karakter Abby yang sebenarnya sangat penting. Tak hanya membuyarkan motivasi karakternya untuk bisa lebih memberi penekanan magical love story itu, latar-latar karakternya pun dibiarkan mengambang tanpa penjelasan lebih. Desain produksinya pun jadi penuh dengan inkoherensi dibalik gambaran jelas bahwa Goldsman terlihat bingung mengkombinasikan fantasi dengan dunia nyata set-nya. Dari tata rias, makeup hingga kostumnya juga seperti orang-orang sedang kebingungan diri mereka sebenarnya ada dimana. Lihat saja potongan rambut ’80an Farrell dan anting-anting Will Smith bak seorang future badass rapper..

WT9

            However, meski chemistry itu tak terbangun sebagaimana yang diperlukan, walau masing-masing A-list actors itu terlihat kelewat asyik sendiri memainkan perananannya, kualitas akting mereka tetap tak bisa dibilang jelek. Colin Farrell kembali menunjukkan ia bisa pas masuk ke peran apa saja tanpa harus tetap kelihatan seperti sosok aslinya, sementara sebagai satu-satunya lead baru, Jessica Brown Findlay juga masih mampu terlihat nyaman di tengah-tengah mereka. William Hurt dan Jennifer Connelly cukup bagus dalam peran singkatnya, Russell Crowe tak jauh beda dari peran antagonisnya di ‘Les Miserables’ kemarin, dan Will Smith dengan asesoris kostum tak relevan itu tetap mampu memberikan sparks sebagai cameo penting yang cukup menyita perhatian. Siapa yang tak ingin melihat Smith dan Crowe berinteraksi dalam satu scene? Diatas semuanya, if you’re into classic movies, penampilan Eva Marie Saint dibalik inkoherensi usia karakternya tetap muncul dengan sangat memikat.

WT10

            Sisi teknis selebihnya pun tergolong cukup baik. Selain beberapa efek spesial yang sesuai kelas produksinya, sinematografi Caleb Deschanel paling tidak tetap bisa menghadirkan atmosfer romance yang cukup cantik bersama scoring keroyokan dari Hans Zimmer, Rupert Gregson-Williams plus musisi Skotlandia KT Tunstall yang juga menyumbangkan dua theme song bagus, ‘Suddenly I See’ dan ‘Miracle’ yang ditulisnya bersama A.R. Rahman. So begitulah. Dibalik semua kekurangannya, you could still see the ambitious concept and magical love fantasies all over it. But unfortunately, Akiva Goldsman agaknya bukan orang yang tepat untuk menerjemahkan keseluruhannya. Tak heran bukan hanya perolehan box office-nya, termasuk peredarannya disini yang sepi-sepi saja, resepsinya juga rata-rata dibantai habis-habisan oleh kritikus. Sayang sekali. Benar-benar sayang sekali. (dan)

WT7

~ by danieldokter on February 22, 2014.

Leave a comment