CINTA DARI WAMENA : A MISGUIDED PUBLIC SERVICE ANNOUNCEMENT

CINTA DARI WAMENA

Sutradara : Lasja F. Susatyo

Produksi : Tanakhir Films, 2013

CDW7

            Oke. Masalah-masalah kesehatan memang tanpa bisa dihindari akan jadi bagian dari sebuah PSA (Public Service Announcement). Bukan lagi hanya oleh pelaku atau petugas medis, bagi kasus-kasus dalam tingkatan tertentu, wabah penyakit, bencana, penyakit-penyakit yang sulit ditanggulangi atau penyakit-penyakit khusus seperti HIV/AIDS, sosialisasi itu juga wajib jadi bagian dari masyarakat non medis. Pemuka Agama. Relawan. Yayasan. Atau apalah sebutannya. But please. Ini juga sekaligus jadi fenomena di banyak belahan dunia, terutama di Indonesia. Bahwa sebagian dari organisasi-organisasi (yang seharusnya) non profit itu juga sering salah arah dan malah menyebarkan informasi serta pengetahuan yang tidak tepat. Alih-alih berusaha menanggulangi penyebarannya, tujuannya jadi melenceng dan membuat sasaran informasinya jadi makin tenggelam dalam ketidaktahuan. Itu kenyataan.

CDW3

            Lantas siapa yang paling layak menilai benar atau tidaknya? Menyangkut masalah medis, tentulah dari pihak yang benar-benar mendalami dan terlibat dalam penatalaksanaannya. Bukan relawan. Bukan yayasan. Bukan pula perusahaan obat walaupun mendukung produksinya. Bukan sekedar berdasarkan pengalaman atau pengamatan awam. Ini memang jadi sedikit rancu, tapi dalam masalah yang diangkat film berjudul ‘Cinta Dari Wamena’ ini, ada fenomena yang jelas sudah diketahui oleh orang-orang yang benar menerjuni bidangnya. Sudah banyak juga riset-riset yang diterbitkan sebagai jurnal kesehatan (bukan berita) dari berbagai belahan dunia, bahwa wilayah Papua, khususnya Wamena sebagai kota terbesar sekaligus ibukota kabupaten Jayawijaya, memang jadi salah satu sorotan atas ancaman epidemi HIV/AIDS dengan jumlah kasus dan potensi penularan yang tinggi disana.

CDW2

        Film ini memang merupakan bagian dari program bantuan beberapa yayasan bantuan luar, sebuah Public Service Announcement (PSA) dengan tujuan memberikan pemahaman lebih tentang HIV/AIDS pada masyarakat luas. Lantas apakah salah ia diracik menjadi sebuah tontonan bioskop yang bertujuan komersil? Kalau tujuannya memang menarik minat orang banyak sebagai sasaran informasi itu, sejauh tak diwarnai kepentingan-kepentingan profit, jelas tak masalah. Apalagi, dengan dibalut sebagai film fiksi yang lebih non formal demi menjangkau cakupan lebih luas agar terlihat lebih menarik, termasuk dengan menggamit Nicholas Saputra dan Susan Bachtiar sebagai special appearance, yang entah memang dikenal luas oleh masyarakat sana atau tidak, ya bisa saja. Tapi apa sih yang sebenarnya paling perlu diangkat sebagai informasi dengan mengangkat fenomena itu?

CDW5

             Well, pertama tentu fenomena yang ada harus diulik lebih dalam. Menyangkut apa latar penyebab kasus-kasus itu begitu tinggi hingga memerlukan usaha penanggulangan lebih dibalik penyuluhan-penyuluhan yang dimaksudkan. Apakah pola sosio-kulturnya? Kebiasaan masyarakatnya? Ekses-ekses lain dari masuknya masyarakat luar sebagai bagian dari pekerjaan dan pembangunan disana? Tapi jelas, bukan informasi yang bisa ditampilkan dimana saja dalam sebuah tujuan visual. Bahwa akhirnya ‘Cinta Dari Wamena’ lebih mengarahkannya pada sebuah drama dengan penelusuran yang ah, sayangnya, lagi-lagi, hanya sedikit menyinggung fenomena itu, dengan selebihnya, lagi-lagi cuma drama berlatar HIV/AIDS tak jauh dari film terakhir Lasja F. Susatyo, ‘Mika’ yang juga dipenuhi informasi salah kaprah dengan pesan yang sama-sama salah kaprah, ini sangat disayangkan. Tujuan itu melenceng dengan niat mengangkat bakat-bakat baru dari Papua serta keindahan alamnya. Lantas mari tanya lagi, ini promosi pariwisata dari keterlibatan Pemkab-nya atau PSA tentang kesehatan? Kalau lagi-lagi pesan utamanya adalah ‘Jauhi penyakitnya, jangan jauhi penderitanya’ dengan segala macam perilaku pencegahan, mengapa harus Papua? Sudah pesan itu sebenarnya akan punya batasan tertentu dalam tujuan penanggulangan dan pencegahan penularan (bukan virus HIV-nya tapi) infeksi oportunis oleh kuman patogen lainnya, kota manapun di Indonesia ini bisa jadi latarnya. Inilah salah kaprah yang dihadirkan oleh penulis skrip Sinar Ayu Massie, yang sebelumnya juga sudah bekerja di film ‘Kita Vs Korupsi’, jelas sebuah PSA dalam konteks beda, dan juga ‘Kalau Cinta Jangan Cengeng’, yang tak jauh-jauh dari samaran PSA tentang narkoba. That explained. Seharusnya mereka menggunakan dana itu untuk membuat sebuah dokumenter untuk memberi informasi seputar kecenderungan epidemi kasusnya, menyorot semua aspek yang ada di belakangnya, dengan tujuan membuka mata orang banyak termasuk masyarakat Papua sendiri agar bisa menyikapinya dengan benar.

CDW8

               Tiga sahabat dengan cita-cita berbeda dari sebuah kota kecil di Papua, Litius (Maximus Itlay), Tembi (Benyamin Lagowan) dan Martha (Madonna Marrey) memiliki impian untuk bisa melanjutkan sekolahnya. Berdasarkan petunjuk seorang airline crew asal sukunya, mereka bertolak ke Wamena. Tinggal bersama Mama Sella (Sylvia Saartje), mereka pun bersekolah sambil bekerja disana, namun justru disinilah masalah dimulai. Tembi terlibat dalam pergaulan yang salah dengan teman-teman barunya, mabuk-mabukan dan seks bebas, sementara Litius jatuh cinta dengan seorang gadis cantik di sekolahnya, Endah (Amyra Jessica Richter), yang ternyata, adalah seorang PSK. And we all knew where the story goes. Tembi tertular HIV. Lantas Endah juga sama.

CDW4

             Inilah kesalahan terbesar dalam wujud ‘Cinta Dari Wamena’ sebagai sebuah PSA dengan (harusnya) tujuan mulia dibalik pendanaan yayasan luar dan keterlibatan Pemkab-nya tersebut. Ketimbang menyorot informasi yang seharusnya bisa diberikan lebih agar masyarakat mengetahui pola penyebaran HIV/AIDS yang tinggi disana, Sinar Ayu Massie memilih sebuah penyampaian pop yang dangkal dengan storytelling flashback dari Litius ke Daniel yang diperankan Nicholas Saputra, musisi freelance yang punya problem hubungan dengan single mother Maya (Susan Bachtiar) di Jakarta. Wamena dijadikannya seolah Sodom dan Gomorrah hanya dari segelintir karakter tanpa informasi dengan kedalaman lebih yang menunjukkan pola perilaku atas dasar kesulitan edukasi dan kepentingan-kepentingan lain sebagai eksesnya. Menghukum kesalahan karakter-karakternya juga tak kalah dangkal dalam pola-pola klise film kita, PSK yang tertular HIV, atau pengguna PSK yang akan juga bernasib sama. Ini jelas bukan edukasi yang baik, hanya dengan meletakkan informasi-informasi pencegahan dan penanggulangan termasuk bagaimana cara hidup dengan HIV + dan mencegahnya jatuh ke AIDS lewat dialog singkat tanpa keterangan lebih. Masih kurang klise? Lagi-lagi, dengan adegan transaksi seks di hotel, sekelompok pemuda mabuk-mabukan, alasan jadi PSK karena keluarga, dokter yang tampil hanya sekedar menerangkan ‘Anda positif HIV, jangan takut, ada obatnya’ agar tak lantas jadi AIDS and so on, lantas yang sama parah, lagi-lagi diiringi adegan batuk-batuk darah karena terinfeksi TBC yang masih digambarkan sebagai penyakit super parah dengan resiko fatal seperti puluhan tahun lalu. Infeksi oportunis yang berpotensi menyerang penderita HIV + dengan sindroma penurunan daya tahan tak hanya TBC, dan TBC pun, tak selamanya harus disertai batuk darah, mungkin saya harus menerangkan itu secara lebih pada Sinar selaku penulisnya agar tak sedangkal itu menyusun informasinya sebagai sebuah PSA. Alih-alih mendidik, akhirnya malah bisa jadi menyesatkan.

CDW1

            But however, dalam penggarapan teknisnya sebagai tontonan umum, despite ketidakjelasan tujuannya sebagai PSA bertujuan mulia atau film feature, Lasja tetap menyisakan potensinya sebagai sutradara yang baik, itu benar. Style-nya menggabungkan film dengan musik yang sangat melekat ke karya-karyanya, bak seorang Cameron Crowe Indonesia,  juga tak ketinggalan. Selain scoring bagus dari Aghi Narottama, adegan-adegan gigs yang dibangun dari penggalan cita-cita Litius, karakter Daniel dan adegan penutup termasuk soundtrack antara lain dari ‘The White Shoes & The Couples Company’ serta ladyrocker legendaris Sylvia Saartje yang sudah lama tak kelihatan di layar lebar Penata kamera Agni Ariatama juga merekam keindahan alam Wamena dengan cantik, dan highlight utamanya memang ada pada tiga pemeran asli Papua plus Amyra Jessica yang tampil dengan akting sangat baik. Pemeran pendukung Doddy Katamsi dan Sylvia bersama Nicholas dan Susan, hingga ke extras-extras lain juga mengisi peran mereka sama baiknya. Walau skrip itu tampil sangat dangkal dan sangat misguided dalam informasi-informasinya, hampir sama seperti kasus ‘Mika’ tempo hari, secara teknis, tak ada yang salah dengan penggarapannya.

CDW6

          Lagi-lagi, kita harus bertanya. Apa sebenarnya tujuan ‘Cinta Dari Wamena’ ini dibuat?  Palsu atau tidak, benar atau salah dibalik niat-niat yang jadi melenceng dan dikotori banyak kepentingan dalam pengembangannya menjadi sebuah film pop hingga akhirnya hanya lagi-lagi menjelaskan A-Z tentang pemahaman HIV/AIDS yang dipenuhi hal-hal salah kaprah, to be honest, biarlah mereka yang menjawab sendiri dengan hati masing-masing. Please be aware, bahwa kalian tak akan hilang dalam 20 tahun karena penyakitnya. Penyakit atau kumannya tak pernah salah seperti metafora-metafora yang kalian sematkan tentang kutukan. Tapi perilaku dan ketidaktahuan akibat kesalahan-kesalahan seperti inilah yang bisa. And next, please. Ketika Anda disodori tanggung jawab lebih dalam menyampaikan informasi yang menyangkut isu-isu penting bagi banyak orang, apalagi penderita dan orang-orang di sekitarnya, please guide them well and have a heart. Have a heart. (dan)

~ by danieldokter on June 17, 2013.

One Response to “CINTA DARI WAMENA : A MISGUIDED PUBLIC SERVICE ANNOUNCEMENT”

  1. […] dengan aspek-aspek penyuluhan yang salah. (baca ulasan saya tentang ‘Mika‘ atau ‘Cinta dari Wamena‘). Belum lagi soal jatuhnya film-film itu menjadi disease and suffering porn yang kebanyakan […]

Leave a comment