TRAIN TO BUSAN (부산행 / BUSANHAENG) ; A HEARTFUL PACKAGE OF K-ZOMBIE RAID FEST

•September 9, 2016 • 6 Comments

TRAIN TO BUSAN (부산행 / BUSANHAENG) 

Sutradara: Yeon Sang-ho

Produksi: RedPeter Film, Next Entertainment World, 2016

train-to-busan

            Tak salah agaknya mengatakan bahwa ‘Train to Busan’ adalah sebuah fenomena di sinema Korsel yang populer dengan sebutan K-Cinema. No, bukan hanya karena statusnya sebagai ‘The first South Korean zombie apocalypse movie’ walau ini masih dipertanyakan sebagian orang. Tapi mungkin dalam subgenre viral outbreak yang mendekati ke film-film a laWorld War Z’ dalam pendekatan zombie raid-nya, bisa jadi. Yang lebih menarik justru statusnya sebagai produksi K-Cinema yang masih tergolong low budget dan dibesut oleh sutradara yang belum terlalu banyak punya track record pula, namun berhasil mencetak record-breaking box office (lebih dari 10 juta penonton) yang sejalan dengan resepsi kritikus dari kiprah awalnya Cannes’ Midnight Screenings Section tahun ini, bahkan sudah siap untuk di-remake oleh Hollywood hanya dalam waktu singkat.

            Set up singkat di awal ‘Train to Busan’ mengenalkan kita pada sosok Seok-woo (Gong Yoo), seorang manajer keuangan yang kerepotan mengurus sendiri putri satu-satunya, Su-an (Kim Su-an). Kesibukan ini akhirnya membuat Seok-woo tak lagi bisa menolak ketika Su-an meminta diantar ke Busan untuk menemui ibunya. Bertolak dari Seoul ke Busan, sebuah virus misterius ternyata bergerak cepat menginfeksi penduduk dengan cepat, termasuk penumpang kereta yang mereka naiki. Bersama Sang-hwa (Ma Dong-seok), istrinya Seong-kyeong (Jung Yu-mi) yang tengah hamil besar beserta beberapa penumpang lain yang bertahan, Seok-woo pun berusaha dengan segala cara buat menyelamatkan Su-an hingga ke titik pemberhentian terakhir.

            Oh ya. Tak ada yang terlalu spesial dari premis itu meskipun platform kereta api yang digunakan sebagai set utamanya secara taktis masih jarang-jarang kita temui dalam film-film zombie raids. Intensitas aksi para zombie dari viral outbreak yang bergerak cepat berkejaran siap memangsa sisa penumpang normal, walau memang menjadi letak kekuatan terdepan yang luarbiasa digelar sutradara Yeon Sang-ho secara luarbiasa seru pun bukan lagi hal baru dalam genre sejenis.

            Namun bagaimana penulisnya, Park Joo-suk – lantas bisa dengan leluasa menyemat elemen-elemen tambahan ke dalamnya, dari studi sosial dengan lapis-lapis karakternya termasuk kritikan ke dampak teknologi hingga satu kekuatan utama sinema mereka dalam heartful treatment ke interaksi-interaksi keluarga, itu yang luarbiasa. Memainkan melodrama a la sinema Korsel dengan fokus yang tepat ke pilihan karakter yang juga mereka gagas dengan sangat taktis, kita sebagai pemirsanya seakan dibawa masuk ke tengah-tengah intensitas itu sambil terus menahan nafas sepanjang durasinya. Caranya menggelar trik-trik tipikal ‘guide to zombie apocalypse’-nya pun luarbiasa unik.

           Di situ pula, Sang-ho dengan mudah membangun empati terhadap karakter-karakter ini, termasuk homeless man yang diperankan Choi Gwi-hwa, dua wanita lansia hingga pasangan siswa sekolah dari tim baseball plus sisi klise dalam menambahkan villain dengan konsep hitam putih lewat karakter Yong-suk (Kim Eui-sung) ke titik konflik interaksi sosial tadi, tapi tak pernah sekali pun terkesan jadi kelewat pasaran. Membuat kita peduli setengah mati terhadap karakter-karakter pilihannya dengan pergolakan emosi dan detak jantung yang terus digedor nyaris tanpa henti.

           Adrenalin kita bisa begitu terpicu menyaksikan karakter Sang-hwa yang diperankan dengan bagus oleh Ma Dong-seok menghajar zombie-zombie itu satu-persatu, juga gregetan dengan eksplorasi dramatik yang menempatkan anak kecil, orangtua hingga wanita hamil ke fokusnya. Sebagai sentralnya, Gong Yoo bermain sangat baik tapi tak akan sekuat itu tanpa bintang cilik Kim Su-an yang memicu permainan emosional di sisi melodramanya.

           Diawali dengan nonstop suspense setelah prolog singkat pengenalan karakternya, ini memang sedikit berbeda dengan gaya tipikal film Korea lain yang biasanya membutuhkan durasi cukup lama. Itu mungkin masih biasa. Namun saat heart factor-nya merangsek masuk dengan sempalan melodrama, ‘Train to Busan’ memang secara total menjadi sebuah zombie raid fest yang luarbiasa unik. Dan seakan belum cukup, di simpul terujungnya yang tetap tak melepas ketegangan menghentak namun siap mengoyak hati dengan pendekatan dramatis yang menjadi signature terkuat sinema mereka, ‘Train to Busan’ benar-benar menemukan jalannya di atas valueone of a kind’ dalam genre sejenis.  Just when we thought a zombie raid fest couldn’t go nowhere far, ‘Train to Busancomes with a solidly different package. One that defines K-cinema’s finest signature. Heart. Ini memang luarbiasa. (dan)

MECHANIC: RESURRECTION; A FUN, ROUSING AND NICE LOOKING ACTION-VAGANZA

•September 8, 2016 • Leave a Comment

iew-2016MECHANIC: RESURRECTION

Sutradara: Dennis Gansel

Produksi: Chartoff-Winkler Productions, Millennium Films, Summit Ent, 2016

mechanic-resurrection

            Selain The Rock, mungkin hanya Jason Statham yang paling eksis serta konsisten sekarang ini sebagai bintang aksi seperti Stallone atau Schwarzenegger di dekade ’80-‘90an. Bukan hanya dari jumlah film dan box office yang rata-rata memang mengarah ke pemirsa Asia sebagai penikmat action dalam pasar global, franchise-nya saja ada lebih dari 3. Setelah ‘The Transporter’ dan ‘Crank’ di luar kiprah ansambelnya dalam ‘Fast & Furious’ dan ‘The Expendables’, ‘Mechanic Resurrection’ melanjutkan ‘The Mechanic’ yang merupakan remake film Charles BronsonJan Michael Vincent yang disutradarai Michael Winner di tahun 1972.

            Memalsukan kematiannya di ending film pertama ternyata tak lantas membuat Arthur Bishop (Jason Statham) hidup tenang. Identitasnya langsung terlacak oleh seorang penyewa misterius yang menginginkan Arthur menghabisi tiga sasaran. Mencoba melarikan diri dan mencari perlindungan ke temannya, Mae (Michelle Yeoh) di Thailand, Bishop malah terlibat hubungan dengan pekerja sosial bermasalah Gina Thorne (Jessica Alba), yang ternyata merupakan umpan kiriman Riah Crain (Sam Hazeldine), penyewa tadi. Terpaksa menyanggupi saat Gina disandera, dari Malaysia, Australia hingga Bulgaria untuk melenyapkan target terakhir Max Adams (Tommy Lee Jones), Bishop pun harus kembali merancang permainan mautnya untuk bisa keluar hidup-hidup dan menyelamatkan Gina.

            Sama seperti orang yang salah sasaran mencari steak di sebuah resto Padang, mencari plot dalam film-film aksi Jason Statham jelas sebuah kesalahan besar, karena kebanyakan pemirsanya datang hanya dengan satu alasan – menyaksikan gelaran aksi yang mengeksploitasi ketangguhan dan kejantanan Statham sebagai action hero Hollywood. Persyaratan mutlak film-filmnya cukup ada di aksi seru baku hantam dan baku tembak nonstop yang nyaris tanpa jeda, dan ‘Mechanic Resurrection’ agaknya cukup mengakomodir itu. Ini jelas ada di kotak ‘Transporter’ atau ‘Crank’ dan pendahulunya, ketimbang film-film Statham yang lebih bermain di drama atau karakter seperti ‘Hummingbird’ atau ‘Wild Card’.

      Namun begitu, sebagai franchise yang menjual eksistensi Statham, ‘Mechanic: Resurrection’ yang disutradarai sineas asal Jerman yang sebelumnya dikenal lewat horor ‘We Are the Night’ ini cukup jeli meletakkan titik berat ciri khas franchise-nya lewat skrip Philip Shelby dan Tony Mosher. Set up-nya boleh jadi menghalalkan segala cara serta sangat campy, tapi tampilan keunikan proses dan metode melenyapkan target yang menekankan mengapa karakternya sebagai The Mechanic berbeda dengan keahlian karakternya sebagai supir tangguh di ‘Transporter’, berhasil ditampilkan dengan menarik serta belum pernah kita saksikan di film-film sejenis.

        Selanjutnya tentulah eksploitasi fisik lewat tampilan Jessica Alba – nyaris melebihi apa yang pernah dilakukannya di ‘Into the Blue’ plus aktor senior Tommy Lee Jones yang berhasil dimanfaatkan dengan baik di perempat akhir film hingga pengujungnya. Nikmati saja gelaran aksinya dan jangan terlalu peduli dengan tetek bengek lain soal plot-nya, yang jelas bakal jadi musuh kebanyakan kritikus. A fun, rousing and nice looking action-vaganza dari variasi lokasinya, dan itu sudah cukup. (dan)

 

THE SECRET LIFE OF PETS: AN IRRESISTIBLY CUTE ‘PET STORY’

•August 31, 2016 • 1 Comment

THE SECRET LIFE OF PETS

Sutradara: Chris Renaud

Produksi: Illumination Entertainment, Universal Pictures, 2016

The Secret Life of Pets

            Hanya dengan ‘Despicable Me’ yang mempopulerkan karakter Minions lebih daripada franchise aslinya sendiri sejak instalmen kedua, Illumination Entertainment yang menjadi divisi animasi Universal Studios melejit menyamai saingan terberatnya di luar Disney – Pixar, DreamWorks. Banyak dipandang sebelah mata oleh kalangan kritikus dengan instalmen solo ‘Minions’-nya, ‘The Secret Life of Pets’ agaknya menjadi jawaban mereka, bahwa di luar ‘Minions’ yang sering dianggap kekanak-kanakan dan no-brainers itu, mereka bisa menghasilkan sesuatu yang lebih lagi.

            Seperti yang kita saksikan di trailer-nya yang menarik perhatian sejak lama,  animasi arahan Chris Renaud ini mengetengahkan tingkah polah binatang-binatang peliharaan di saat ditinggal majikannya bekerja sehari-hari. Max (disuarakan Louis C.K.), anjing terrier milik Katie (Ellie Kemper) yang selalu berinteraksi dengan tetangga-tetangganya termasuk kucing Chloe (Lake Bell) selagi diam-diam disukai anjing pom-pom Gidget (Jenny Slate) tanpa disadarinya, merasa keberatan kala Katie membawa pulang mongrel Duke (Eric Stonestreet) yang langsung mengancam eksistensinya. Persaingan mereka ternyata berlanjut pada kekacauan yang membuat keduanya tertangkap dinas penangkap hewan liar dan terjebak ke kawanan peliharaan anti-manusia pimpinan kelinci jahat Snowball (Kevin Hart) yang menyiapkan revolusi bersama kawanannya. Gidget pun mengajak Chloe dan kawan-kawannya lewat bantuan rajawali lapar Tiberius (Albert Brooks) yang bersedia menolong dengan maksud tersembunyi.

            Langsung diganjar rencana sekuel di 2018 atas sambutan besar dari box office sekaligus kritikus, ‘The Secret Life of Pets’ memang punya potensi hebat dari skrip Brian Lynch, Cinco Paul dan Ken Daurio. Oh ya, di balik banyak tuduhan yang tak juga bisa dibantah atas similaritasnya ke ‘Toy Story’, namun sebenarnya tak hanya itu, ‘The Secret Life of Pets’ memang dibangun dengan ‘been there, done that elements. Elemen buddy movie dalam animasi memang sudah sejak lama jadi resep bahkan jauh sebelum ‘Toy Story’ termasuk juga ‘Monsters, Inc.‘ hingga ‘Zootopia’ walaupun karya Pixar tentang mainan bak hewan peliharaan itu jadi salah satu momentum terpenting yang juga punya pendekatan mirip di sini. Ide revolusi radikal, interaksi sekelompok karakter dengan latar sama namun punya maksud-tujuan berbeda dalam penelusuran lapisan sosial dan sempalan love story-nya pun begitu. Sementara, caranya membuat interaksi dan pengenalan para hewan peliharaan sebagai group of central characters di tengah core buddy movie juga menyenggol ‘Zootopia’, dan kisah sehari petualangan hewan peliharaan mengelabui majikannya – bukan pula hal baru – bahkan sudah nyaris jadi template buat tema-tema serupa.

         Tapi toh rasanya tetap terlalu sempit buat mengatakan sesuatu yang dibangun di balik unoriginal elements itu selalu salah. Ide Renaud dkk. paling tidak memiliki kejelian serta kreativitas lebih. Bukan saja karena tema pets dalam sebuah fabel memang menarik hati banyak orang – apalagi sekarang, tapi plot berlapis yang diusungnya – dari komedi ke love story hingga buddy action, bahkan lebih lebar dari tiap source inspirasinya – bayangkan dua atau tiga instalmen ‘Toy Story’ dikemas dalam plot dengan timeline sehari, selain terasa aktual, akrab dan disampaikan dengan begitu lancar, memang dengan berani menyentuh ranah segala umur yang di satu sisi tak membuat pemirsa dewasa merasa kekanak-kanakan, sementara sisi fun dan komedi yang masuk ke pemirsa belia juga bisa dipertahankan.

            Di luar itu, kekuatan utamanya jelas ada pada bangunan karakternya dalam usaha-usaha merchandising yang jitu, termasuk variasi pilihan ke voice actors-nya. Begitu banyak karakter yang ditampilkan, bahkan lebih dari keberhasilan ‘Zootopia’ sebagai pembanding dekatnya, tak satupun yang lantas tertinggal jadi sampingan tak penting. Semua seakan berusaha menarik perhatian lewat pengarahan Renaud bersama Yarrow Cheney ke tengah-tengah petualangan seru dan lucu yang mereka tampilkan plus scoring Alexandre Desplat dan lagu-lagu pengisi OST yang bagus termasuk ‘Lovely Day’-nya Bill Withers yang ditempatkan dengan pas di rangkaian adegan pengujungnya. Selagi Max dan Duke disuarakan oleh Louis C.K. dan Eric Stonestreet yang lebih dikenal pemirsa serial TV, aktor-aktor lebih well known secara universal dari Kevin Hart, Steve Coogan, Lake Bell, Dana Carvey, Jenny Slate hingga Albert Brooks berinteraksi begitu menarik untuk menghidupkan karakternya masing-masing.

          Dan di atas semuanya, ‘The Secret Life of Pets’ tetap tak kehilangan hati di tiap titik terujungnya. Seperti satu serial karakter mainan yang membuat pembelinya bingung mau memilih yang mana, bentukan karakternya memang digagas dengan cermat di atas keseimbangan kuat. Fun, full of excitements and irresistibly cute, too. Salah satu animasi terbaik tahun ini yang tanpa diduga bisa bertengger menjadi animasi non Disney terlaku mengalahkan ‘Kung Fu Panda’-nya DreamWorks. Dan itu, jelas artinya bagus. (dan)

LIGHTS OUT: THE HARDCORE DARKNESS FALLS

•August 31, 2016 • 1 Comment

LIGHTS OUT

Sutradara: David F. Sanberg

Produksi: New Line Cinema, Atomic Monster, Grey Matter Prod, RatPac, 2016

lights out

            Nama James Wan memang seakan sudah jadi jaminan buat genre horor. Film-film horor produksinya harus diakui punya kualitas dan inovasi beda tanpa harus meninggalkan dayatarik utama mengapa penonton gemar sekali dengan genre ini; adegan seram dan jump scares, serta karakter villain yang gampang melekat. Satu yang kerap muncul dari inovasi itu adalah reinvensi berbeda soal hubungan-hubungan keluarga yang membuat gelaran ketakutannya jadi terasa lebih visceral daripada sekedar menakut-nakuti.

       Setelah kesuksesannya merambah sekuel ‘The Conjuring‘, both critics and commercialWan kini menjadi produser dalam ‘Lights Out’ yang diangkat dari film pendek berjudul sama karya David F. Sanberg bersama istrinya, Lotta Losten, yang meski tak menang namun mulai memunculkan viral hype setelahnya. Konsep atmospheric dalam interkoneksi kegelapan dan keberadaan makhluk halus-nya bukan sama sekali baru dan sudah pernah diangkat lewat ‘Darkness Falls’, namun ‘Lights Out’ seperti versi hardcore-nya dalam melangkah ke pace horor yang jauh lebih.

            Dengan introduksi di sebuah pabrik manekin, ‘Lights Out’ pun mengantarkan kita pada sebuah keluarga yang terpecah. Teror yang dialami Martin (Gabriel Bateman), putra kecil Sophie (Maria Bello) yang mengalami gangguan mental setelah kejadian itu lantas membuat kakak tirinya, Rebecca (Teresa Palmer) muncul untuk melindungi Martin dan menyadari bahwa teror ini punya hubungan dengan masa kecilnya. Bersama kekasihnya, Bret (Alexander DiPersia), Rebecca pun mulai menyelidiki latar belakang dari sosok misterius yang belakangan diketahui bernama Diana (Alicia Vela-Bailey) ini.

            Kekuatan utama ‘Lights Out’ memang ada pada ide dasar yang diusung Sandberg soal titik gelap dan terang di balik kemunculan hantunya. Namun lebih dari itu, in many skillful ways, konsep menarik ini dibangun Sandberg tetap terasa penuh kejutan terhadap dasar ketakutan banyak orang dalam konsepnya. Dan yang membuatnya jadi sangat spesial adalah kemasan horor dengan pace yang sangat fun bak menaiki wahana seru rumah hantu di sebuah theme park, di mana pemirsanya bisa dengan mudah berteriak bersama di gelaran jump scares yang ditaburnya di sepanjang film. Ia tak perlu menahan-nahan kemunculan sosok hantu atau twist kelewat spesial untuk membuat filmnya jadi sesuatu yang terlihat lebih pintar, tapi set up kengeriannya dieksekusi dengan pas bersama tampilan jump scares bahkan dengan sedikit selipan komedi yang efektif ke tengah-tengahnya.

            Performa juga jadi satu keunggulan yang lain dari ‘Lights Out’. Di balik ikatan kuat soal psikologis dan inti keluarga dari bentukan karakter dalam skrip Eric Heisserer (‘The Thingremake, ‘Final Destination 5‘) yang makin memperkuat tensinya, Maria Bello dan Teresa Palmer bermain baik sebagai Sophie dan Rebecca. Namun yang paling spesial justru bocah kecil Gabriel Bateman yang berkali-kali ditempatkan sebagai fokus utama ancaman sosok jahat Diana yang juga dibangun dengan meyakinkan lewat efek sebagai demonic villain yang langsung menempel di benak pemirsanya. Ini memang simpel, tapi pendekatan yang tepat berhasil membuatnya jadi horor yang kuat sekaligus sangat menjual. Hanya sayang, posternya yang sama-sama simpel mungkin bisa jadi distraksi di negara-negara dengan pemirsa yang sudah punya pola tipikal dalam ketertarikan mereka terhadap sebuah film horor, termasuk di Indonesia. (dan)

 

3 SRIKANDI: A DISNEY MATINEE-KIND OF SPORTS BIOPIC

•August 19, 2016 • Leave a Comment

3 SRIKANDI

Sutradara: Iman Brotoseno

Produksi: MVP Pictures, 2016

3 srikandi

            Kita tak punya terlalu banyak genre olahraga dalam film nasional, itu benar. Kalaupun ada, biasanya kebanyakan membahas sepak bola. Ada ‘King’ yang bicara soal bulu tangkis, dan sekarang ‘3 Srikandi’ muncul dengan soal panahan – cabang olahraga yang sayangnya tak pernah terlalu memunculkan hype di masyarakat kita. Paling tidak, rilis yang tepat saat Olimpiade Rio di balik harapan-harapan keberhasilan atlit kita, bisa sedikit lebih mendorong animonya. Tapi apa yang diangkat sebagai kisah nyata dari Olimpiade Seoul 1988 memang perlu diketahui lebih luas. Mendapat medali perak dalam panah beregu, di tahun itu – adalah sesuatu yang sangat spesial.

            Menjelang Olimpiade Seoul 1988, Sekjen PERPANI Udi Harsono (Donny Damara) mempersiapkan atlitnya untuk berlaga. Namun satu-satunya harapan untuk melatih atlit wanita ada pada Donald ‘Pandi’ Pandiangan (Reza Rahadian), mantan atlit nasional yang dijuluki ‘Robin Hood Indonesia’, namun frustrasi karena kecewa kegagalan keberangkatan ke Moskow 4 tahun sebelumnya dicampuri urusan politik. Sempat menolak, Pandi akhirnya bersedia melatih tiga yang terpilih, Nurfitriyana (Bunga Citra Lestari), Lilies (Chelsea Islan) dan Kusumawardani (Tara Basro). Tapi ini bukan perkara mudah karena gemblengan Pandi yang disiplin harus diwarnai konflik intern ala wanita di antara 3 srikandi panahan ini.

            Walau punya background iklan yang pas dengan genre-nya, debut sutradara Iman Brotoseno ternyata masih cukup tertatih-tatih buat bercerita. Ada beberapa detil yang terasa melompat, sementara ia juga gagal menaikkan level-nya di klimaks final yang seharusnya bisa lebih mendebarkan dalam memperkenalkan panahan lewat film kita. Ada beberapa usaha yang terlihat, namun dengan minimnya detil-detil informasi dan rules of the game dalam kompetisi cabang olahraga yang diangkat – yang rata-rata tak diketahui banyak lapisan selayaknya cabang lain, sebagian montase-montase klimaksnya malah terasa kelewat bombastis ketimbang meyakinkan. Masa iya rakyat kita di tahun itu sebegitu antusiasnya mengikuti hasil panahan lewat radio hingga lapis masyarakat terkecilnya?

         Belum lagi soal justifikasi disiplin atlit menjelang pengujungnya, di mana tahapan-tahapan dialog dalam skrip Swastika Nohara bersama Iman (supervisi oleh Adi Nugroho) malah memberi impact cukup fatal ke persuasi rasa patriotisme yang seharusnya muncul lewat tema seperti ini. Penutup yang seharusnya bisa jauh lebih menyentuh buat membidik puncak hubungan 3 Srikandi dengan Pandi di tengah kemenangan mereka pun seakan jadi menguap begitu saja.

            Begitupun, penggarapan teknis terutama tata artistik Frans X.R. Paat dengan pendekatan nostalgik 80an-nya bisa dibilang cukup baik. Tata kamera dari Ipung Rachmat Syaiful juga bekerja dengan baik di bagian-bagian terpentingnya. Begitu pula gimmick-gimmick ‘80an lain dengan OST vintage dari Kla Project, Ruth Sahanaya plus Vonny Sumlang di selipan adegan musikal yang cukup padu dengan tone penceritaan yang mereka pilih sejak awal. Dari dramatisasi klise konflik atlit dengan orangtuanya ke romantisasi love parts di tengah ketiga karakter ini plus secuil tragedi – yang juga tak kalah klise, ‘3 Srikandi’ memang seakan tak pernah menempatkan dirinya sebagai sports biopic klasik tapi lebih ke pola Disney Matinee sports dengan elemen ‘Girls Just Want to Have Fun’ di bangunan interaksi karakter-karakternya. Bisa jadi flaws buat yang mengharapkan tontonan lebih serius, tapi jelas tak mengapa.

         Memerankan Pandi, meski masih ada sedikit pengaruh peran Habibie dan dialek yang masih belum seratus persen pas, Reza Rahadian tetap bertransformasi begitu jempolan seperti biasanya. Selebihnya bermain baik, tapi yang paling menonjol justru Chelsea Islan dengan gestur teledor di balik dialek Jawa Timur medoknya. Bunga Citra Lestari mungkin tak mendapat treatment sebesar itu bahkan dibandingkan Tara Basro, tapi mereka tetap bermain baik dengan dukungan supporting cast yang bagus terutama dari Donny Damara, Indra Birowo dan Mario Irwinsyah.

            Dengan kelebihan dan kekurangan itu, ‘3 Srikandi’ untungnya tetap tak terjebak sebagai biopik olahraga yang gagal. Meski tak bisa benar-benar maksimal memanfaatkan potensi yang dimilikinya, juga dalam membangkitkan rasa patriotisme lewat turnamen olahraga,  ini paling tidak masih bisa menghibur bak film-film matinee Disney dalam genre sama. Tak jelek secara keseluruhan, tapi tetap – sayang sekali. (dan)

 

SUICIDE SQUAD: A PARTY-SIZED MESS OF A BIG CONCEPT

•August 18, 2016 • 3 Comments

SUICIDE SQUAD

Sutradara: David Ayer

Produksi: DC Entertainment, RatPac-Dune Ent, Atlas Ent, Warner Bros, 2016

SS

            Sebagai instalmen ke-3 dari DCEU (DC Extended Universe), adaptasi komik DC yang bakal menyatukan semua tokoh-tokoh komik mereka seperti apa yang dilakukan pesaing mereka, Marvel Comics – yang sudah berada jauh di atasnya, ‘Suicide Squad’ sebenarnya menanggung beban cukup berat. Walau karakter-karakternya yang kebanyakan terdiri dari karakter-karakter jahat yang digambarkan sebagai antihero, ia menjadi benang merah penghubung dari bangunan universe yang masih terseok-seok, apalagi dengan kegagalan ‘Batman v Superman: Dawn of Justice’ kemarin. Trailer yang terus-menerus berubah plus isu-isu reshoot dan edit ulang mewarnai proses akhirnya sebelum dilepas ke pasar.

            Agen rahasia Amanda Waller (Viola Davis) menginisiasi sebuah program untuk merekrut penjahat-penjahat super ke dalam misi rahasia. Walau dipandang beresiko karena membalik keberadaan mereka menjadi mitra pemerintah buat menyelamatkan dunia dari prediksi ancaman meta-human, program ini tetap terpaksa dijalankan dengan Rick Flag (Joel Kinnaman) sebagai eksekutornya. Ada Deadshot (Will Smith), pembunuh bayaran dan sniper handal, Harley Quinn (Margot Robbie) – psikiater yang beralih menjadi kekasih kriminal Joker (Jared Leto), perampok Captain Boomerang (Jai Courtney), manusia berkekuatan api El Diablo (Jay Hernandez), Slipknot (Adam Beach), manusia buaya Killer Croc (Adewale Akinnuoye-Agbaje) dan arkeolog June Moone (Cara Delevigne) yang sukmanya dikuasai penyihir jahat Enchantress.

            Premis menarik ini sayangnya dikembangkan sutradara David Ayer yang sudah teruji dari film-film cop – criminal thriller dengan kesalahan yang notabene sama dibalik kegagalan ‘BvS’. Pertama adalah soal layer terdasar yang terasa agak mengada-ada di atas kekhawatiran kebangkitan Superman dari endingBvS’ – di mana pihak pemerintah seakan cenayang yang bisa memperkirakan Superman bakal bangkit dan beresiko menjadi makhluk jahat, sementara dua personil Justice League yang dimunculkan memberangus mereka sebelum disatukan tak diberi koherensi menghentikan inisiasinya di balik kekacauan parah yang terjadi di set kota tetangga universe utamanya.

          Tetap ada set up yang cukup asyik di atas nonsensical ideas tadi bersama penggunaan lagu-lagu vintage yang mau tak mau harus diakui terinspirasi ‘Guardians of the Galaxy’-nya Marvel, namun berjalan semakin lari arahnya dengan character arcs yang penuh sesak dan tumpang tindih tanpa justifikasi seimbang menuju klimaks yang tak lagi jelas memuat motivasi konflik siapa melawan siapa. Though anything goes in a fantasy, nalar dan logika pemirsanya malah diruntuhkan ke taraf mempertanyakan motivasi pemilihan personil tanpa balance yang masih dipenuhi lagi oleh seabrek tim dan karakter pendamping, sementara kunci kekacauannya justru datang dari mereka sendiri ketimbang tetek-bengek misi yang awalnya disampaikan. Yang akhirnya tampil hanya noisy boom-bangs, itu pun dengan pace naik turun – termasuk di adegan tim antihero ini sempat-sempatnya mabuk-mabukan di bar kosong sekacau tampilan posternya yang bak benang kusut di atas color tone yang sangat tak nyambung ke universe-nya.

           Selagi Will Smith’s Deadshot dan Margot Robbie’s Harley Quinn jadi fokus terdepan, sebagian besar karakternya seakan tertinggal sia-sia tanpa justifikasi seimbang tadi. Tim inti yang dihadirkan pun tak semua terjelaskan di bagian awal, termasuk Slipknot yang diperankan Adam Beach yang seolah jadi penghias dalam durasi luarbiasa singkat. Jai Courtney’s Captain Boomerang was mostly doing nothing, Killer Croc looks like a joke dan Jay Hernandez’ El Diablo tergambarkan punya kemampuan begitu dahsyat tanpa lagi membutuhkan ‘Squad’.

        Joker versi Jared Leto sebenarnya tak terlalu jelek meski jelas masih jauh dibandingkan semua aktor yang pernah memerankan tokohnya, namun juga seperti tak diberi ruang lebih di atas motivasi dan flashback tak penting, begitu juga Scott Eastwood dan Karen Fukuhara sebagai pendamping karakter Rick Flag (mandor proyek yang diperankan oleh Joel Kinnaman dengan baik) yang membuat ansambelnya makin penuh sesak, sementara kemunculan spesial Batman (tetap diperankan Ben Affleck) dan Flash (Ezra Miller, yang akan kelewatan dalam sekali kedipan) dalam universe-nya tak juga menyisakan kesan berarti. Viola Davis tampil cukup meyakinkan sebagai Amanda Waller, namun lagi-lagi di atas bentukan key character yang justru cenderung bagai perusuh ketimbang inisiator visioner, dan terakhir, sebagai Enchantress – dr. June, meski Cara Delevigne cukup bagus namun set up-nya berakhir lebih sebagai villain yang tetap terasa tak seimbang meski penuh polesan.

            Begitupun, di samping hype yang melonjak dengan kemarahan fans DC atas review negatifnya, ‘Suicide Squad’ tetap punya nilai jual lebih lewat seru-seruan adegan aksi dengan sempalan komedi yang sayangnya juga masih dipenuhi hit and miss. But like a party-sized mess of a big concept yang lebih enak dinikmati dalam keadaan mabuk, nikmati ini hanya jika Anda mengharap sajian penuh aksi sekaligus masih mengharapkan kebangkitan film-film adaptasi DC dengan kecerdasan racikan yang harus diakui masih jauh di bawah Marvel, tapi jelas – tak lebih dari itu. (dan)

STAR TREK BEYOND: FAST AND FURIOUS IN SPACE

•August 4, 2016 • Leave a Comment

STAR TREK  BEYOND

Sutradara: Justin Lin

Produksi: Paramount Pictures, Bad Robot Prod, Skydance, Alibaba Group, 2016

star trek beyond

            50 tahun setelah serial TV orisinil kreasi Gene Roddenberry ditayangkan pertama kali, ‘Star Trek’ kini sudah mencapai film layar lebar ke-13-nya, dan instalmen ke-3 reboot baru yang digagas oleh J.J. Abrams. Menaikkan level-nya ke trend blockbuster yang penuh efek spesial dan action seru dalam genre fiksi ilmiah, Abrams kini mempercayakan penyutradaraannya ke Justin Lin yang karirnya melonjak setelah serangkaian seri ‘Fast and Furious’. Selain Leonard Nimoy, pemeran Spock asli yang tutup usia bersama Anton Yelchin di tahun ini, hype-nya juga semakin bertambah dengan keikutsertaan Joe Taslim sebagai salah satu villain bernama Manas. Pertanyaannya sekarang, ke mana Justin Lin membawa franchise ini?

            Setelah insiden yang terjadi di film sebelumnya, kru USS Enterprise; Kapten James T. Kirk (Chris Pine), Spock (Zachary Quinto), McCoy/Bones (Karl Urban), Chekov (Anton Yelchin), Sulu (John Cho), Scotty (Simon Pegg) dan Uhura (Zoe Saldana) kini terperangkap di sebuah planet tak dikenal setelah Enterprise diluluh-lantakkan oleh musuh baru bernama Krall (Idris Elba). Saling terpisah dan menyelamatkan diri, mereka lantas bergabung dengan Jaylah (Sofia Boutella), korban Krall sebelumnya yang tanpa mereka sadari menyimpan rahasia terhadap sebuah misi masa lalu Starfleet.

            Abrams mungkin merasa dua instalmen untuk membalik universe reboot ini secara cerdas, menghadirkan alternate universe dengan karakter-karakter yang sama, sudah cukup sebagai introduksi ke penggemar baru sekaligus fans service ke para penggemarnya. Untungnya, reboot itu memang punya pilihan cast yang tepat. Chris Pine jelas punya kharisma se-level William Shatner di masa mudanya, selagi Zachary Quinto begitu mengingatkan kita ke awkward style Leonard Nimoy menokohkan Spock, dan tentu Karl Urban ke DeForest Kelley yang di dua instalmen pertamanya terasa masih underused.

        Dan sebuah franchise tentu tak akan bisa lama bertahan dengan formula serupa terus-menerus. Menaikkan level-nya ke pameran aksi jauh lebih lagi, penggagasnya melakukan langkah berani ke pameran aksi yang menyamai bahkan melebihi franchise yang sering dianggap – walaupun sebenarnya tidak – pesaingnya, ‘Star Wars’ dengan boom and bang action lewat sentuhan Justin Lin. But more than that, skrip yang berpindah ke tangan Simon Pegg (bersama Doug Jung) juga tergolong berani – karena Pegg yang dipasang sebagai Scotty baru memang punya signature di ranah komedi. Dua elemen racikan ini memang hanya punya satu terjemahan – blockbuster musim panas yang sangat meriah.

            Walau sangat potensial buat kelangsungan franchise-nya dari sisi box office, di lain sisi, sebenarnya ini sekaligus sangat beresiko bagi para Trekkies, nama yang disemat untuk fans setia franchise-nya. Namun rentang waktu begitu jauh mungkin juga sudah menyisakan sangat sedikit Trekkies purist dengan masuknya fans dari barisan generasi baru. Pakem penceritaannya memang secara drastis berubah lebih serba menonjolkan aksi bercampur komedi – bahkan bermain-main dengan hingar-bingar pop kultur – rock n’ roll dan Beastie Boys, termasuk theme songSledgehammer‘ dari Rihanna plus dialog-dialog komedik yang cenderung konyol hingga lebih menyerupai ‘Fast and Furious’ di set luar angkasa.

            Namun tanpa bisa disangkal, semua racikan itu memang luar biasa seru di tengah pameran VFX dan CGI kelas satu, dan yang terpenting, mereka tetap menyisakan respek – walau tak terlalu banyak, ke source material orisinil yang disesuaikan di sana-sini ke universe baru yang diciptakan Abrams bersama Roberto Orci dan Alex Kurtzman di dua film sebelumnya. ‘Star Trek Beyond’ memang berubah menjadi Star Trek yang serba hantam kromo ketimbang menonjolkan strategi, tapi team play-nya tetap muncul dengan solid dan tak sekalipun tertinggal di belakang. Malah, Pegg bersama Lin menambahkan lagi karakter-karakter baru serta elemen penting yang selama ini sedikit terlupa di chemistry dan relationship Spock dan Bones (McCoy) dengan porsi Karl Urban yang menanjak cukup jauh.

            Sisanya adalah performa. Menambah daya jual dari deretan cast reboot yang sudah cukup masuk ke para pemirsanya, kemunculan Idris Elba sebagai Krallvillain utama dengan twist di pengujungnya juga menjadi salah satu daya tarik lebih bersama Joe Taslim yang mendapat porsi lumayan banyak buat penonton Asia khususnya Indonesia. Benar bahwa ia kebanyakan muncul dalam full makeup sebagai Manas, namun jika benar-benar jeli, ada flashback scene lewat layar televisi berikut foto yang menampilkan wajah asli Joe, dan masih ada Sofia Boutella sebagai calon kru baru yang memainkan perannya dengan menarik sekaligus jadi scene stealer yang tetap ingin kita lihat di sekuel berikutnya.

          So be it. Resepsinya boleh saja berbeda-beda sesuai dengan referensi tiap generasi fans-nya. Tapi apapun ceritanya, 50 tahun mungkin sudah cukup untuk membuka ranah baru pengembangannya, dan Abrams dkk. tergolong sukses menjaga balance-nya. Boldly go where no entries have gone before, benar bahwa Star Trek sekarang lebih mirip ‘Fast and Furious in Space’ tapi tetap di atas respek ke elemen-elemen wajib yang ada di franchise aslinya. (dan)

 

BANGKIT! : A VALIANT EFFORT OVER DISJOINTED STORYTELLING AND SUBSTANDARD CGI

•July 29, 2016 • 1 Comment

BANGKIT!

Sutradara: Rako Prijanto

Produksi: Suryanation, Kaninga Pictures, Oreima Pictures, 2016

bangkit

            Genre disaster memang masih jarang-jarang ada dalam sinema kita. Kalaupun ada, pendekatannya masih hanya berupa latar atau justru lebih ke paparan dokumentasi kejadian nyata yang direkonstruksi ke film tanpa elemen-elemen yang terlalu fiktif. Dari banyak subgenre latar bencananya – dari bencana alam ke traffic/transport accident, tercatat di antaranya ada ‘Kabut di Kintamani‘ (1972),  ‘Krakatau’ (1977), ‘Operasi Tinombala’ (1977), ‘Tragedi Lembah Sinila’ (1979) dan ‘Tragedi Bintaro’ (1989). Ada pula yang menyorotnya lebih ke fantasi mistis  seperti ‘Jin Galunggung‘ (1982).

           Namun dalam pendekatan ke blockbuster pop – fiktif Hollywood ala film-film Roland Emmerich seperti ‘The Day After Tomorrow’, ‘2012’ ataupun film-film semacam ‘San Andreas’, ‘Bangkit!’ agaknya jadi yang pertama. Walau memang didukung sebuah company buat menyampaikan ide campaign yang diusung produk mereka, ini usaha yang sangat mengundang perhatian sekaligus terasa luarbiasa ambisius karena di tengah keterbatasan produksi soal standard bujet dan SDM kita, genre ini jelas bermain banyak di efek visual.

            Pertemuan dua fenomena iklim yang mengakibatkan bencana banjir yang beresiko menenggelamkan Jakarta mempertemukan petugas Basarnas Addri (Vino G. Bastian) yang tengah berjuang menyelamatkan keluarganya (Putri Ayudya, Andryan Bima & Yasamin Jasem) dengan Arifin (Deva Mahenra), analis BMKG yang batal menikah dengan kekasihnya, dokter Denanda (Acha Septriasa) akibat kejadian itu. Sambil berusaha menyelamatkan diri, mereka pun berusaha mencari jalan keluar di balik keberadaan rahasia sebuah terowongan Belanda yang hanya letaknya hanya diketahui oleh Profesor Pongky (Yayu A.W. Unru), pasien yang selama ini dirawat Denanda.

            Lewat plot yang dipilih, Anggoro Saronto yang menulis skripnya sebenarnya sudah melakukan PR-nya sesuai dengan koridor tipikal film-film yang menjadi inspirasi mendasarnya. Penelusuran multikarakter dalam usaha survival di tengah bencana itu memang terdengar sangat Hollywood, namun dibarengi drama soal interaksi keluarga hingga isu sosial lain serta sorotan profesi tokohnya tetap membuatnya terasa ikut dibalut dengan muatan lokal yang kuat.

            Dan tak ada yang salah juga dengan hal-hal yang dikenal secara filmis sebagai ‘suspension of disbelief’ dalam plot sejenis yang meninggalkan logika menempatkan tokoh-tokohnya sebagai sorotan utama di tengah kebetulan-kebetulan dalam memilih siapa selamat maupun tidak. Paling tidak dalam pakem film-film tadi, kita tahu bahwa satu-dua keluarga karakter utama yang paling disorot selalu punya cara buat menyelamatkan diri.

         Sayangnya, skrip Anggoro serta penyutradaraan Rako tak cermat menggarap kesinambungan kisahnya. Storytelling-nya melompat-lompat jumpalitan seperti jahitan tanpa kontinuitas, seperti cut yang menghilangkan satu scene di tengah-tengah dua yang tampil, dan masih disertai beberapa bloopers – seperti soal jarum suntik dalam prosedur pembersihan luka dengan spuit yang lupa dicabut jarum bahkan penutupnya, begitu juga dengan gambaran impact yang banyak mencuatkan banyak pertanyaan dalam logika-logika faktual yang bukan hanya bisa disadari pekerja-pekerja BMKG atau profesi lain yang ditampilkan. Dalam lingkup keparahan bencana yang dipaparkan, misalnya, kita masih berkali-kali melihat safe spots yang berpotensi sangat mengganggu bangunan suspense-nya, dan masih ada juga penggampangan serta kebetulan lain yang terasa kelewat melecehkan logika ketimbang masih bisa diterima sebagai ‘suspension of disbelief‘ tadi.

            Sudah begitu, penggunaan efek visual dalam usaha ambisius itu pun sayangnya gagal menyamai standar sinematis yang sudah dicapai film-film luar bahkan Asia sampai film-film dari negara tetangga terdekat kita sekali pun. Benar ia bisajadi lebih dari film-film kita yang lain dengan effort yang jelas terlihat, tapi entah karena keterbatasan waktu walau bujetnya terasa cukup mahal melebihi standar rata-rata film kita yang mesti disesuaikan dengan bidikan angka penontonnya, padahal sudah menggamit tenaga luar dari Thailand, Watcharachai Paniksuk, buat bekerja bersama VFX artist kita Raiyan Laksamana, latar CGI yang tak benar-benar menyatu dengan set aslinya jelas kelihatan di banyak adegan. Ketimbang memilih cara untuk menutupi agar VFX frame-nya tak terlalu banyak lewat celah penceritaan, mereka justru memilih ketidaksempurnaan ini buat mendominasi daya jualnya tanpa memperhitungkan respon yang akan muncul dari penonton kritis atau yang punya reference lebih.

              Begitupun, ’Bangkit!’ bukan lantas benar-benar jatuh menjadi banyak genre efforts yang gagal total di film-film kita seperti ‘Dunia Lain: The Movie‘, ‘Glitch‘ ataupun ‘Garuda Superhero‘. Ini masih jauh sekali berada di atas film-film itu. Di atas faktor teknis dan elemen lain yang masih tergarap baik seperti tata suara dari Khikmawan Santosa serta scoring Aghi Narottama yang mengadopsi scoring-scoring khas genre-nya dengan baik plus lagu tema anthemic dari Nidji, ‘Bangkit!’ masih punya faktor ansambel akting yang baik berikut fans service kuat dari para pendukungnya terutama Vino, Acha, Putri dan Deva sebagai cast utamanya.

          Dua pemeran cilik-nya, terutama Andryan Bima yang diserahi klimaks penuh emosi bersama Vino pun tampil baik, dan masih ada nama-nama pendukung lain seperti Donny Damara, Ferry Salim, Khiva Iskak, Ade Firman Hakim hingga Yayu Unru. Bersama beberapa usaha pendekatan pop yang masih bisa bekerja buat suspense dan emosinya – dari drama keluarga ke sematan romansa, terutama ke kalangan penonton awam yang memang tak mau repot mempedulikan detil-detil sinematis lain, ini paling tidak masih bisa menyelamatkan ‘Bangkit!’ sebagai sebuah effort yang tetap mesti dihargai serta didukung lebih.

         So yes, it had serious issues of disjointed storytelling over substandard CGI, namun setidaknya, mereka mau mencoba – dan ini yang terpenting, membuka jalan untuk keberanian sineas kita melangkah ke genre-genre berbeda. Jika memang ini bisa menjadi sebuah awal seperti tagline-nya yang cukup menohok – Karena Menyerah Bukan Pilihan, juga hashtag #bangkitfilmindonesia -nya, bolehlah. Quite a valiant effort in our rare disaster genre. (dan)

THE LEGEND OF TARZAN: A WEIRD YET THE TRUEST ADAPTATION TO DATE

•July 20, 2016 • 2 Comments

THE LEGEND OF TARZAN

Sutradara: David Yates

Produksi: Village Roadshow Pictures, Jerry Weintraub Productions, Riche/Ludwig Productions, Beaglepug Productions, RatPac Entertainment, 2016

The Legend of Tarzan

            Semua pasti tahu atau at least pernah mendengar soal Tarzan. Tapi coba tanya generasi sekarang. Sudah berapa film adaptasi tokoh rekaan Edgar Rice Burroughs (dipublikasi pertama kali tahun 1912 – majalah, 1914 – buku) yang mereka tonton dari puluhan jumlah yang ada sejak yang pertama di tahun 1918. Dua yang selalu muncul paling ‘Tarzan’ –nya Walt Disney (1997) atau malah porn version-nya – ‘Tarzan X’ yang sangat populer di sini.

             Hanya sebagian mungkin yang masih mengingat film series terbanyaknya yang diperankan oleh Johnny Weissmuller dan dulu populer sekali di bioskop-bioskop kita dari era ‘70 ke awal ‘80an, meski aslinya dirilis jauh sebelum itu. Atau versi Bo Derek ‘Tarzan the Ape Man‘ yang sempat dihebohkan juga di tahun 1981, atau yang jauh lebih serius – ‘Greystoke’-nya Christopher Lambert, apalagi versi lokal yang diperankan Barry Prima. So, meski jauh lebih well known, ini jatuhnya lebih ke character franchise yang kalau tak mau dibilang usang – tapi sudah ada di rentang terlalu jauh ke generasi sekarang, dalam kotak yang sama dengan katakanlah, ‘The Lone Ranger’, ‘John Carter’ atau ‘Flash Gordon’.

            Versi terbaru setelah adaptasi animasinya tahun 2014 yang disuarakan Kellan Lutz dan berlalu begitu saja kini datang dari David Yates yang dikenal luas sejak kiprahnya di ‘Harry Potter’ sejak ‘The Order of the Phoenix’ hingga instalmen terakhir termasuk spinoffFantastic Beasts’ yang akan datang. Legenda origin-nya yang punya elemen Inggris sangat kental memang agaknya lebih pantas dibesut oleh sutradara Inggris ketimbang Amerika. Dan seperti biasa, di mana karakter Jane seringkali justru lebih dijual ketimbang Tarzan karena rata-rata harus menonjolkan exquisite sexiness bersama karakter anak hutan bak superhero dengan sebutan raja rimba atau ‘King of the Apes’ ini, faktor Margot Robbie agaknya lebih menarik ketimbang Alexander Skarsgård yang didapuk menjadi Tarzan mengalahkan perenang Michael Phelps, Henry Cavill, Charlie Hunnam hingga Tom Hardy.

            Didahului serangkaian latar sejarah Berlin Conference yang membuat kekuasaan di Kongo terpecah, Kerajaan Belgia yang berada di ambang kebangkrutan lantas mengirim Leon Rom (Christoph Waltz) mencari permata legenda Opar ke sana (fabled diamonds of Opar ini memang beberapa kali dimunculkan dalam buku dan beberapa adaptasi Tarzan). Permata itu ternyata bukan tahayul, namun dikuasai oleh pemimpin suku Chief Mbonga (Djimon Hounsou) yang menawarkan pertukaran dengan Tarzan atas sebuah dendam lamanya. Padahal, Tarzan tak lagi berada di rimba Afrika setelah identitas aslinya sebagai John Clayton II a.k.a. Lord Greystoke sudah membawanya bersama Jane, menikah dan kembali ke kehidupan aristokrat Inggris. Bertepatan dengan itu, melalui PM Inggris (Jim Broadbent), tokoh pejuang politik George Washington Williams (Samuel L. Jackson – diambil dari real life character bernama sama) meminta Tarzan mengunjungi Kongo buat menjadi saksi pelaporan kasus perbudakan yang dilakukan oleh Belgia. Maka petualangan baru Tarzan pun dimulai di balik kesepakatan jahat Rom dan Mbonga.

            Meski karakternya merupakan tokoh fiktif rekaan Burroughs, plot kisah-kisah petualangan Tarzan memang bukan baru sekali ini menggabungkan elemen historis dalam bangunannya. Apa yang dilakukan David Yates dan produser Jerry Weintraub lewat skrip yang ditulis oleh Adam Cozad dan Craig Brewer sebagai pembuka jalan ke reboot barunya sebenarnya cukup unik. Mereka menolak untuk kembali mengulang origin story Tarzan yang kerap kita saksikan di sejumlah film adaptasinya, tapi tak lantas menghilangkannya sama sekali. Bagian-bagian cerita yang sudah diketahui banyak orang ke elemen-elemen wajib perkenalan Tarzan dan Jane dengan dialog legendaris ‘Me Tarzan, You Jane’ itu mereka jadikan sebagai layer terdasar yang tak serupa dalam back and forth storytelling-nya.

        Di satu sisi, ini memang resiko bagi pemirsa baru yang bisa jadi merasa penceritaannya berjalan agak aneh, apalagi kalau Anda sempat membaca beberapa berita di mana Yates memasukkan elemen-elemen ‘nakal’ ke dalamnya, yang untungnya urung digunakan di final version-nya. Namun di sisi lain, ini juga merupakan keputusan cukup cerdas ketimbang kembali lagi ke hal yang itu ke itu saja. Menggabungkan banyak elemen-elemen dari film-film adaptasi yang sudah ada, plus homage-homage yang entah disengaja atau tidak ke gaya flashback dan beberapa action lawas Sergio Leone, versi Yates jadi seolah sekuel ke ‘Greystoke’ tahun 1984 yang lebih banyak membahas culture clash Tarzan yang kembali ke kehidupannya sebagai bangsawan Inggris, dan ada sensitivitas lebih ala Yates yang sangat terasa di tiap sentuhan penceritaan itu.

          Dan di sana pula, Cozad dan Brewer jadi leluasa untuk menyemat elemen historikalnya buat membangun versi update karakternya secara humanis seperti yang tengah jadi trend sekarang. Meski tetap menempatkan Tarzan sebagai hero yang lebih dari orang biasa, ia bukan lagi superhero komik yang dibesarkan kawanan kera hingga bisa berkomunikasi verbal dengan hewan-hewan penghuni hutan, tapi lebih ke komunikasi telepati yang lebih wajar seperti seorang pawang. Ada batasan-batasan intelegensia manusia, hewan sekaligus alam yang digagas dengan rapi ke dalam faktor-faktor kewajaran logika yang sangat terjaga hingga klimaksnya, termasuk ke motivasi seru pertarungan Tarzan dengan saudara-saudara kera-nya dalam hukum rimba berikut pilihannya menghadapi suku pedalaman Mbonga.

             Begitupun, bukan berarti Yates melupakan sisi action-nya. Dari banyak adaptasi Tarzan setelah era Johnny Weissmuller, ‘The Legend of Tarzan’ justru jadi salah satu yang paling setia ke old skool pattern-nya tanpa harus terus bermodalkan teriakan legendarisnya. Might be a flaw to some, tapi yang lebih penting, bahwa Tarzan bukan hanya sekedar berperang dengan musuhnya yang rata-rata perusak alam dan lingkungannya dengan ayunan-ayunan mautnya dari pohon ke pohon yang di sini ditampilkan jauh lebih seru dengan sentuhan VFX dan koreo yang juga up to date meski sebagiannya terasa kelewat singkat, tapi animal raid scenes yang padat, from river to land – menampilkan berbagai jenis hewan secara tidak klise ala film-film biasanya pun, muncul dengan solid di sini.

         Karakter-karakternya pun dibangun dengan taktis. Ada humor-humor ala buddy movie yang bisa jadi terasa sedikit aneh antara Tarzan dan G.W. Williams meski chemistry-nya bagus, some works and some not, tapi Jane tak mereka tinggalkan sebagai damsels in distress di tangan Margot Robbie yang selalu bisa memadukan kecantikan – keseksian dengan dominasi feminisme yang kuat. Lihat adegannya diserang kuda nil yang lebih sering digambarkan jinak di film-film lain sebagai salah satu highlight-nya.

          Christoph Waltz sebagai villain dibiarkan berada dalam garis kontras bersama Djimon Hounsou – antara komikal seperti penampilannya yang biasa dengan Mbonga yang lebih humanis lewat motivasi karakternya, namun menyemat gambaran dilematis Tarzan secara psikologis yang sadar betul dirinya dijadikan eksploitasi sebagai manusia rimba bahkan dijual ke dalam bentuk komik – bukan buat berkomedi ria – that’s a really smart one. Di situ, sosoknya jadi terasa begitu humanis untuk memulai sebuah franchise baru Tarzan yang up to date ke trend sekarang. Dan Skarsgård memang melakonkannya dengan baik, termasuk membangun chemistry bagus ke Robbie menuju romance conclusion dari penggalan-penggalan flashback-nya di adegan penutup yang sayangnya di sini dibabat lembaga sensor kita tanpa kira-kira.

        Selebihnya, ‘The Legend of Tarzan’ masih punya sinematografi jempolan dari Henry Braham bersama gimmick 3D yang baru ini muncul dalam adaptasi live action-nya dan scoring bagus dari Rupert Gregson-Williams. So, ini memang kembali lagi ke soal-soal reference dari sebuah franchise dengan instalmen ratusan bahkan epigon lebih banyak lagiyang memang punya rentang kelewat jauh dari generasi dulu ke generasi sekarang. Para pemirsa yang sudah lebih banyak menikmati berbagai variasi adaptasi atau lebih mendalami source material-nya memang akan lebih bisa merasakan effort baru dalam segala elemen dari penceritaan ke gelaran aksi yang ada ketimbang yang seumur hidupnya baru menyaksikan dua atau tiga instalmen Tarzan tanpa sederet classic series Johnny Weissmullerno, it’s not Disney’s – yang jadi signature terkuat franchise-nya.

          Dan oh ya, pemilihan awal Michael Phelps-pun, memang digagas produser Jerry Weintraub yang tak punya hubungan dengan produser Sy Weintraub dari film-film Tarzan Weissmuller, yang juga seorang atlit renang, untuk menyamai trivia ini. So, ini jelas bukan sebuah adaptasi atau reboot Tarzan yang gagal, if you think so. Fun, seru tanpa meninggalkan romantic glimpse antara Tarzan – Jane yang jadi racikan wajibnya, it might felt a little bit weird at some parts, but also the truest adaptation to date. (dan)

SABTU BERSAMA BAPAK: A MISGUIDED ESSENCE OF A POTENTIAL FAMILY DRAMA

•July 16, 2016 • 2 Comments

SABTU BERSAMA BAPAK

Sutradara: Monty Tiwa

Produksi: Max Pictures, Falcon Pictures, 2016

SBB

INT. RUANG TAMU (MASA KINI) – DAY

CAKRA duduk di tengah-tengah SATYA dan ibu mereka, ITJE, menunggu gambar keluar dari layar. Rasa berdebar-debar bercampur kangen, bukan saja karena ini pertama kalinya sejak waktu cukup lama mereka melihat rekaman di layar televisi, tapi juga karena mereka akan kembali melihat Bapak.

Gambar muncul di layar.

INTERCUT:

INT. RUANG TAMU (MASA LALU) – DAY

Tempat sama di mana mereka kini duduk, tapi dulu. Tanggal di sudut menunjukkan tanggal rekaman. “27 Desember 1991”. Sosok yang tidak asing bagi mereka muncul. GUNAWAN. Bapak bagi Cakra dan Satya. Kakang bagi Itje. Gunawan mengenakan setelan jas lengkap, menatap ke kamera sambil tersenyum lebar.

GUNAWAN

Hai Satya ! Hai Cakra !

Satya dan Cakra bagai kembali menjadi anak kecil mendengar ucapan itu. Ucapan sama yang dulu mengawali tiap Sabtu mereka.

SATYA & CAKRA

Bapak…

GUNAWAN

Kalian sedang melihat rekaman bapak paling terakhir. Tapi sebenarnya ini adalah pesan yang paling pertama bapak rekam. Bapak lakukan ini agar karena di hari yang spesial ini, bapak ingin kalian lihat bapak saat masih dalam kondisi sehat.

Gunawan muda menengok ke ruang sebelah, menanti seseorang datang, lalu berkata lagi ke kamera.

GUNAWAN

Satya, Cakra, hari pernikahan adalah hari paling penting dalam hidup. Hari pertama dari sisa hidup kalian menjadi kepala rumah tangga. Menjadi imam pasangan kalian. Kalian harus kuat. Tidak boleh lemah, ya…

Sosok Itje muda muncul. Ia juga mengenakan gaun yang amat indah.

ITJE

Kang, gagah dan senang sekali kamu hari ini.

Gunawan berdiri dan menggamit tangan Itje dan tersenyum. Mata Itje tampak berkaca-kaca.

Gunawan menekan tombol tape deck di belakangnya. ‘LAGU CINTA’ oleh Iwan Fals melantun. Gunawan membawa Itje melantai, berdansa pelan sambil berpelukan dengan sangat erat.

GUNAWAN

Kamu tahu kenapa saya begitu senang ? Karena hari ini saya berbahagia. Saya mengantar anak kita ke pelaminan.

Satya, Cakra dan Itje menatap rekaman dengan mata berkaca-kaca. Rindu yang tadi menggumpal tumpah di air mata mereka.

Gunawan dan Itje muda berdansa sampai lagu selesai. Gunawan muda mencium tangan Itje dan kembali duduk lantas berkata ke kamera.

GUNAWAN

Ibu kalian, wanita yang paling cantik di hadapan bapak. Kalian sayang ibu kalian, kalian juga harus sama sayangnya sama istri kalian, ya.

Gunawan menatap ke kamera sambil tersenyum lama.

GUNAWAN

Hari ini, bapak hadir untuk mengantar kalian ke pelaminan. Walau sudah tiada,bapak selalu ada.

Gunawan berdiri sambil mematikan kamera.

Kerongkongan Cakra tercekat. Air matanya mengalir pelan. Di kiri dan kanannya, ada Satya dan Itje yang menggenggam kedua tangannya. Erat.

CUT TO :

            Okay. Itu hanya sekedar berandai-andai, ke adegan yang seharusnya menjadi konklusi terdalam dari adaptasi novel ’Sabtu Bersama Bapak’ karya Adhitya Mulia, penulis yang popularitasnya cukup besar di kalangan sosmed, yang diangkat ke film oleh sutradara Monty Tiwa. Adaptasi novel memang masih jadi komoditas nomor satu dalam film kita. Apalagi, yang menjual kesedihan di balik tema-tema penderitaan akibat penyakit. Sebagai novel berstatus best seller yang sebenarnya berdiri di atas elemen itu, ‘Sabtu Bersama Bapak’ sebenarnya bisa sedikit menutupi eksploitasi soal tadi lewat sebuah pendekatan interaksi keluarga yang menyentuh. Itu juga yang membuat adaptasi filmnya cukup ditunggu-tunggu setelah deretan pemerannya yang memuat nama-nama terkenal diumumkan, bersama nama Monty yang punya kredibilitas cukup baik di film kita. Seringkali miss saat duduk menjadi sutradara, tapi sebagai penulis skrip, dalam memuat ide-ide witty atau kritik sosial, ia jempolan.

            Mengetahui bahwa dirinya berada dalam kondisi terminal akibat kanker yang dideritanya dengan vonis hanya setahun, Gunawan (Abimana Aryasatya) memilih menyerah namun menyiapkan pendidikan ke anak-anaknya lewat video yang ia buat untuk diputar setiap Sabtu. Berpegang pada nasehat-nasehat itu, kehidupan Itje (Ira Wibowo), istri berikut kedua putranya pun berlanjut hingga Satya (Arifin Putra) sudah membina rumahtangga dengan Rissa (Acha Septriasa) dan berdomisili di Perancis, sementara Cakra (Deva Mahendra) masih sibuk mencari tambatan hatinya pada sosok karyawan baru di kantornya, Ayu (Sheila Dara Aisha). Namun muncul lagi masalah baru kala Itje kembali didiagnosis dengan tumor yang beresiko merenggut nyawanya.

            Plot itu memang klise a la banyak film kita; didasari hal-hal tak kalah klise soal sudah jatuh tertimpa tangga dan masih ditimpa musibah lain lagi. Tapi meminjam elemen dari film luar ‘My Life’ (Bruce Joel Rubin, 1991 – dibintangi Michael Keaton dan Nicole Kidman) soal bapak di ambang kematian yang menyiapkan video bagi anak-anaknya berikut subplot soal keluarga, Adhitya yang menulis skripnya bersama Monty mungkin berusaha untuk menutupi klise-klise tadi, juga terhadap kewajaran dan motivasi karakter yang beresiko untuk dipertanyakan; ke harga kaset video 8 untuk model handycam di tahun itu terhadap pilihan berobat, misalnya. Di satu sisi, tetap ada potensi kuat yang membuatnya jadi terasa beda. Menyampingkan layer yang sangat digandrungi sineas kita terhadap elemen-elemen medis tadi buat hanya tampil sebagai latar terhadap grand idea soal banyak aspek dalam inter-relasi keluarga yang kaya, sayangnya, ‘Sabtu Bersama Bapak’ tak lantas bisa jadi maksimal karena lagi-lagi diwarnai salah kaprah informasi yang jadi salah satu kelemahan terbesar penulis-penulis kita.

          Selain pada dasarnya tak bisa membedakan kanker dengan tumor dalam penelusuran utama plotnya, berikut tampilan Hengky Solaiman sebagai dokter yang seakan memvonis diagnosis pasien dengan sugesti penuh ancaman, ada hal yang sangat fatal soal diagnosis kanker lewat surat kiriman dari yayasan terkait – bukan dokter lewat pemeriksaan pendukung, yang sangat mengganggu serta menyalahi etik bagi pemirsa yang paham. Ini menjadi flaws yang banyak sekali mendasari film kita dalam soal penyematan informasi umum yang akhirnya ikut membuat persepsi pemirsanya terhadap hal-hal yang menyangkut keahlian jadi salah kaprah – satu yang harusnya bisa dihindari dalam konten-konten sejenis, walau mungkin alasannya menghindari klise-klise aspek adegan dokter menginformasikan diagnosis pada pasiennya.

              Dan bukan hanya itu, secara visual; ‘Sabtu Bersama Bapak’ masih terasa agak mengganggu dari beberapa tone warna, tampilan gambar terutama penggunaan teknik lens flare di penyampaian flashbacks-nya yang sebenarnya tak lazim, mendistraksi sinematografi Rollie Markiano dan tak diperlukan dalam menambah bangunan emosinya, yang memang tak digagas Adhitya dan Monty sebagai penulisnya dengan kepekaan lebih seperti penggagas yang benar-benar mencintai source material-nya sepenuh hati. Instead, mereka cukup membiarkan saja aspek-aspek adaptasi filmisnya berjalan sebagaimana adanya bahkan sibuk menambah konflik dan subplot tanpa mencoba lebih memberi kesan dan penekanan esensi dalam tatanan emosi yang harusnya tampil paling depan dalam tema-tema sejenis. Belum lagi scoring Andhika Triyadi yang terasa kelewat stirring untuk menggiring kesedihan penonton di elemen-elemen drama yang sebenarnya terkesampingkan dari sematan komedinya.

             Di sini, justru elemen komedi-nya lah yang justru sangat berhasil, seperti signature Monty yang memang kuat buat menyentil kelucuan dalam karya-karyanya. Bukan berarti Abimana Aryasatya dan Ira Wibowo tak bermain kuat sebagai Gunawan dan Itje di tengah perbedaan usia dan balutan tata rias yang cukup detil dari Rinie May buat meng-handle resiko itu. Acha Septriasa malah tampil paling menonjol – all out dan tak sekalipun overacting men-tackle emosinya walaupun kerap kali tak mendapat interaksi sebanding dari Arifin Putra. Lihat salah satu adegan dramatis yang paling bekerja saat Rissa menelefon Itje yang tengah berjuang dengan penyakitnya untuk mengadukan masalahnya dengan Satya. At least, chemistry mereka masih cukup believable, dan masih ada tata artistik yang niat dari Angga ‘Bochel’ Prasetyo namun memang tenggelam oleh elemen-elemen komedi dari subplot Cakra yang diperankan Deva Mahenra bersama pendatang baru Sheila Dara Aisha yang bisa begitu mencuri perhatian.

            Inilah yang menjadi highlight terbaik untuk menutupi banyaknya kekurangan tadi, termasuk para pemeran ciliknya yang kaku, bahwa Deva – memainkan Cakra sesantai dan sekocak penampilannya di sitcom sebuah TV swasta kita, bermain lepas membangun kelucuan bersama dukungan Ernest PrakasaJenny Arnelita plus Sheila bahkan komedian Mongol yang tampil di salah satu momen komedi terbaik dengan timing pas yang meledakkan tawa. Namun lagi, ini sebenarnya adalah bumerang, dimana sematan komedinya justru jadi elemen terdepan yang menenggelamkan sisi drama yang jadi inti cerita hingga plot utamanya soal Bapak dan keluarga. Masih ada yang bisa menyentuh, namun tak pernah terasa dibesut benar-benar maksimal dengan lebih banyak miss ketimbang hit.

            Walaupun ini jadi bagian terbaiknya untuk bisa nyaman dinikmati buat menutupi aspek-aspek disease/suffering porn berbalut banyak kesalahan informasi tadi, rasanya salah juga kalau sasarannya justru berpaling ke komedi. Judulnya ‘Sabtu Bersama Bapak’. Plot-nya maunya menyentuh dan mengingatkan kita tentang sosok Bapak serta hubungan-hubungan intern antar keluarga secara dramatis. Hashtag promo-nya pun #RinduAyah. But like a misguided essence of a potential family drama, kala kita melangkah ke luar bioskop setelah bangunan emosi yang gagal memuncak bahkan berlalu begitu saja di konklusi klimaksnya, yang lebih menempel di benak kita justru banyolan Cakra dan rekan-rekan kantornya; Firman dan Wati (Ernest dan Jennifer) yang berduet luarbiasa kocak – bahkan Mongol, lebih daripada Bapak. Jatuh lagi-lagi menjadi film dengan penggarapan tak maksimal yang harus diselamatkan oleh performa ensemble cast dan elemen lucu-lucuan yang sama sekali bukan sasaran utamanya, ini sayang sekali. Sayang sekali. (dan)